Kajian

Kritik Kiai Cepu Terhadap Thomas Djamaluddin

Kritik Kiai Cepu Terhadap Thomas Djamaluddin

Kritik Kiai Cepu Terhadap Thomas Djamaluddin – Rangkuman sinarmu.co kajian online PDM Kota Yogyakarta Bersama Kiai Kusen, Phd.


Sinarmu.co – Kiai Kusen atau masyhur dengan sebutan Kiai Cepu memberikan kritik filosofis terhadap dua peneliti BRIN yang akhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan. Kritik itu ia sampaikan melalui forum diskusi Muhammadiyah Kota Yogyakarta, tayang secara langsung melalui kanal youtube SA 14 Studio (30/4).

Sebelumnya, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin menggiring opini bernada anti toleran, anti perbedaan. Sementara AP. Hasanudin lebih parah, ia melontarkan komentar ancaman pembunuhan kepada seluruh warga Muhammadiyah.

Mengawali kajiannya, Kiai Cepu menyebut bahwa ciri Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar. Berdasar Alquran dan sunnah nabi. Hal itu tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah 4 pasal 1. Artinya, seluruh kegiatan dan produk dakwah Muhammadiyah tidak akan keluar dari ciri tersebut.

Allah Membuka Ruang Perbedaan

Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang memang sudah jelas tafsirnya. Sehingga semua ulama bersepakat tanpa adanya perbedaan penafsiran. Seperti dalam surat Al-ikhlas ayat pertama, “katakanlah (Muhammad), Dialah Allah Yang Maha Esa”. Keesaan Allah ini jelas dan lugas, ayat seperti ini adalah ayat qath’i.

Di sisi lain, terdapat ayat yang membuka ruang multi interpretasi. Dalam penafsirannya, ulama berbeda pendapat dan pandangan. Ayat-ayat seperti ini adalah ayat dhonny, jelas Kiai Cepu. Lantas bagaimana dengan Alquran surat Al-baqarah ayat 185 yang menjadi landasan melakukan awal puasa dan berhentinya (idul fitri).

Baca juga: Ramai Soal Penolakan Timnas Israel, Bagaimana Menurut Pandangan Muhammadiyah?

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu mendapati bulan itu, maka berpuasalah…”

Kalimat syahida secara bahasa berarti melihat, menyaksikan dengan maksud untuk mengetahui. Dalam hal ini maka timbul pertanyaan, bagaimana cara mengetahui bahwa telah berganti bulan? Karena pergantian bulan itulah yang menentukan kapan kita puasa ramadhan dan kapan mengakhirinya (idulfitri). Pertanyaan berikutnya, cara nabi saat itu dalam melihat bulan adalah ketetapan pasti, atau masih bisa berkembang dengan cara lain?

Kisah Pendapat Pribadi Nabi Muhammad

Dalam satu kisah perang Khandaq, nabi menyampaikan siasat perangnya. Kemudian Salman Alfarisi bertanya apakah siasat itu datang dari Allah Swt atau pendapat pribadi nabi Muhammad? Nabi Muhammad pun menyampaikan bahwa itu pendapat pribadinya, kemudian Salman Alfarisi mengajukan siasah lain yang terbukti lebih efektif.

Dalam kisah yang lain, sahabat pernah bertanya tentang cara mengembangkan pohon kurma kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian masukan nabi itu ia lakukan, namun dalam praktiknya tidak berhasil. Lantas sahabat berkonsultasi kepada nabi, ia sudah melakukan arahan nabi Muhammad tetapi belum berhasil. Maka sabda nabi “….antum a’lamu biumuriddunyakum”, dalam urusan agama nabi Muhammad sangat menguasai, namun dalam hal ini (urusan dunia) “kamu lebih tahu”.

Maka dalam melihat, menyaksikan pergantian bulan, masih memungkinkan untuk menggunakan metode-metode yang lebih akurat. Hal itu lantaran di zaman nabi perkembangan ilmu dan teknologi belum pesat seperti saat ini. Cara melihat atau menyaksikan adalah urusan dunia yang bisa berkembang ragam caranya.

Dua Cara Menyaksikan Pegantian Bulan

Pada zaman nabi Muhammad menyaksikan pergantian bulan secara langsung dengan mata. Sehingga dalam beberapa riwayat, jika dalam keadaan mendung (hilal tertutup awan) maka perkirakanlah atau genapkan puasa 30 hari. Inilah dasar penggunaan rukyatul hilal dan hingga saat ini banyak ulama yang konsisten menggunakan metode tersebut.

Cara yang lain, kata Kiai Cepu, adalah memanfaatkan perkembangan keilmuan dan teknologi. Melihat, menyaksikan dengan tujuan agar mengetahui bisa melalui perhitungan ilmu pasti (hisab). Penggunaan ilmu pasti ini sebagaimana firman Allah “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu. supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” QS. Yunus ayat 5.

Baca artikel menarik lainnya: Keunikan Pemikiran Ahmad Hassan

Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini telah mampu menghitung dengan detail pergerakan bulan mengelilingi bumi dan matahari. Pada tanggal sekian, pukul sekian ketinggian bulan sekian derajat, akan terjadi A, B, C dan seterusnya. Hal ini menghadirkan kemudahan serta kepastian bagi banyak pihak.

Sebagaimana dalam menentukan waktu shalat. Kini, kita sudah tidak perlu melihat posisi matahari atau fenomena alam, cukup melihat jadwal shalat. Jadwal shalat ini adalah produk metode hisab, perhitungan. Termasuk adanya perintah shalat gerhana, bahwa pada tanggal sekian akan terjadi gerhana, bahkan detail, pukul sekian, gerhana terjadi selama sekian waktu dan seterusnya. Semua ini adalah produk metode hisab.

Perbedaan Adalah Rahmat dan Menjalankan Keyakinan Beragama Dilindungi Oleh Negara

Perbedaan sejatinya sudah Allah tetapkan, hal itu adalah kehendak Allah. Tujuannya tak lain adalah sebagai rahmat, bukan untuk memecah belah. Sebagaimana firman-Nya “Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” QS. An-Nahl ayat 93.

Kiai Cepu menyebut, jika kita sebagai ummat muslim telah meyakini bahwa besok adalah tanggal 1 Syawwal, maka kita berlebaran. Keyakinan dalam beragama tersebut dilindungi Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia pasal 29 ayat 2. Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Maka, jika Profesor Djamaluddin ingin mempersatukan perbedaan dengan cara memaksakan agar semua sama dalam menjalankan keyakinan beragama, artinya ia anti toleran. Selain itu, ia juga secara otomatis menolak UUD NRI pasal 29 ayat 2, tegas Kiai Cepu. Jika demikian, maka ia menilai peneliti BRIN itu tidak layak berada di Indonesia yang berdasar Pancasila dengan semboyan bhineka tunggal ika.

“Penetapan 1 Syawwal oleh NU dan Muhammadiyah sama-sama boleh dan benar. Karena berdasar ilmu yang komprehensif. Yang salah adalah mereka yang membenturkan dan memaksakan,” pungkas Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah itu.


Judul: Kritik Kiai Cepu Terhadap Thomas Djamaluddin

About Author

sinarmu

Sinarmu.co | Mencerahkan semesta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *