Opini

Membaca Kembali Makna Toleransi dalam Pandangan Buya Syafii Maarif

Membaca Kembali Makna Toleransi dalam Pandangan Buya Syafii Maarif

Membaca Kembali Makna Toleransi dalam Pandangan Buya Syafii Maarif – Opini Arie Riandry Ardiansyah


Sinarmu.co – Dari sekian banyaknya narasi mengenai toleransi agama mungkin terkesan monoton dan sulit dipahami oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan jarak pemahaman semakin besar serta menyulitkan dalam upaya implementasinya. Tidak sedikit orang yang terjebak pada penafsiran yang sempit atau hanya menganggapnya sebagai slogan belaka. Namun disatu sisi, Buya Syafii Maarif memiliki pemikiran praktis dan mampu merekontruksi kesadaran setiap individu mengenai pentingnya toleransi beragama. Dalam paradigmanya, perbedaan bukanlah suatu problematika, akan tetapi sebagai keberagaman yang saling melengkapi serta merangkul satu sama lain. Lebih dari itu, pemikirannya tidak hanya sebatas dalam kata-kata, tetapi juga diwujudkan dalam tindakannya.

Buya Syafii Maarif lahir di daerah Minang yang notabennya memiliki kekayaan budaya dan kentalnya kultur islam serta dinamikanya masyarakat cukup beragam. Hal-hal tersebut yang membangun wataknya yang religius, egaliter dan mandiri. Buya Syafii Maarif melegitimasi bahwa latar belakangnya sangat mempengaruhi dalam pengembangan kepribadiannya. Buya Syafii Maarif memiliki pemahaman yang kuat dan luas dalam wacana keagamaan. Namun, hal tersebut tidak membuatnya menjadi fanatis dalam beragama. Ia mampu memahami berbagai persfektif hidup dan itu membantu dirinya dalam memperluas wawasan terhadap pluralitas dan kehidupan yang beragam. Bahkan, ia dikenal sebagai sosok yang mengimplementasikan dialog antar-agama yang berorientasi pada masalah kemanusian yang dihadapi saat ini.

Makna Toleransi Beragama

Toleransi beragama merupakan sikap dari penerimaan terhadap agama orang lain, singkatnya bukan sekedar menerima tetapi ikut serta dalam implementasinya. Secara filosofis, toleransi keniscayaan pluralitas/keragaman. Pun meyakini semua manusia dilahirkan dengan kebebasan memilih dan tanggung jawab  sepenuhnya atas diri mereka sendiri. Setiap manusia secara niscaya terbentuk melalui dialektika antara kapasitas diri dan sejarah hidupnya. Prinsip etisnya setiap makhluk mendambakan kebahagiaan dan hendaknya kebahagian tersebut diperoleh tanpa harus menyakiti orang lain. Dalam konteks ini toleransi beragama bukan hanya sekedar sikap dari penerimaan saja, lebih dari itu toleransi beragama ialah sebuah nilai dari fitrah manusia untuk saling menerima, memahami, dan mencintai. Jika mengutip aforisma dari Kang Wawan sebagai aktivis Jakatarub, bahwa “Dialog antar iman, berawal dari dialog antar teman”. Melihat aforisma tersebut tentunya tanpa kita sadari toleransi beragama sangat lekat dengan sosial, ruang-ruang sosial menjadikan nafas dari toleransi beragams itu sendiri. Sejatinya manusialah yang diamanahkan untuk merawat perbedaan.

Pemikiran Toleransi Beragama Buya Syafii Maarif

Sebagai seorang ahli filsafat sejarah ia sering kali mereflesikan kehidupan manusia di Indonesia, ia menggunakan pengalaman tersebut sebagai asas untuk memformulasikan gagasan-gagasan intelektualisme Islam dan Pluralisme agama. Pemikiran-pemikiran tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia, dan menjadi kerangka untuk mencapai masa depan yang lebih cemerlang. Dalam berbagai karyanya, ia  sering menekankan nilai-nilai kemanusian dan berusaha mengkorelasikan pemikiran tersebut dengan konsep intelektualisme islam.

Buya Syafii Maarif menunjukkan kritik yang tajam terhadap realitas bahwa kesenjangan sosial di antara umat manusia, baik itu perbedaan status sosial antara orang miskin dan kaya, perbedaan jumlah dan pengaruh antara kelompok mayoritas dan minoritas, atau perbedaan agama dan kepercayaan, semakin memperburuk cita-cita persatuan dan prinsip-prinsip keadilan universal. Masalah-masalah tersebut hanya membuat upaya untuk mencapai kesatuan kemanusiaan semakin sulit dicapai.

Dalam kacamata Buya Syafii Maarif, manusia adalah makhluk istimewa yang dianggap mulia menurut al-Qur’an karena ia telah diberikan ruh Tuhan pada saat penciptaannya. Namun, kemuliaan manusia tidaklah mutlak karena ia memiliki potensi baik dan buruk dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak ada jaminan bahwa manusia akan selalu melakukan hal yang baik dalam hidupnya. Oleh karena itu, Buya Syafii Maarif percaya bahwa manusia harus dididik melalui konsep Intelektualisme dan Pluralisme, sehingga ia dapat mengembangkan potensi baik yang dimilikinya dan mencegah potensi buruknya teraktualisasi dalam kehidupan sosial.

Baca juga: Kritik Kiai Cepu Terhadap Thomas Djamaluddin

Namun pada realitasnya kini manusia harus diterpa pahinya kenyataan sejarah yang selalu ada konflik. Fenomena (konflik) di atas menunjukan kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan suci Tuhan dengan realitas empiris yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Konteks toleransi beragama dalam paradigm Buya Syafii Maarif, dinamai pendekatan setuju dalam perbedaan (agree in disagreement). Pandangan ini menekankan bahwa dalam agama apapun yang ia (individu) peluk itulah agama yang baik.

Walaupun demikian, setiap agama memiliki klaim kebenaran (truth claim) selain itu setiap perbedaan memiliki kesamaan. Inilah esensi pemikirannya Buya Syafii Maarif yang bercorak pluralitas. Dalam pandangan Buya Syafii Maarif, toleransi bukanlah sekedar konsep, tetapi harus menjadi sebuah tindakan nyata. Kita semua harus berusaha untuk memperkuat kerukunan antarkelompok masyarakat, dan menghormati perbedaan sebagai salah satu kekayaan Indonesia. Dengan cara ini, Indonesia akan menjadi sebuah masyarakat yang damai, harmonis, dan majemuk.

Sebagai penutup, nilai-nilai toleransi yang dianut oleh Buya Syafii Maarif sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat. Toleransi bukan sekedar konsep, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Kita semua harus berusaha untuk menghargai dan menghormati perbedaan antara individu atau kelompok, serta memperjuangkan keadilan sosial di dalam masyarakat. Hanya dengan cara ini, Indonesia akan menjadi sebuah masyarakat yang harmonis dan majemuk.


Membaca Kembali Makna Toleransi

Penulis: Arie Riandry Ardiansyah
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Judul: Membaca Kembali Makna Toleransi dalam Pandangan Buya Syafii Maarif

About Author

sinarmu

Sinarmu.co | Mencerahkan semesta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *