Teroris Di Lingkungan Pendidikan – Opini Rudi Edogawa
Sinarmu.co – Di negeri ini kurikulum pendidikan masih terus berubah mencari bentuknya. Yang terbaru, pendidikan sekarang sudah dengan paradigma baru, dengan salah satunya berfokus kepada siswa. Jadi jika pun ada guru semacam itu pasti sudah tidak laku. Teroris dalam pengertian bahasa adalah kegiatan yang dipaksakan.
Terkadang orang tua pun menjadi ‘teroris’, dengan tanpa tabayyun langsung menerka-nerka seperti apa kegiatan di sekolah. Namun teroris sebenarnya belum bertemu. Karena mereka menggunakan senjata kurikulum agar semua manut walau kaki dan tangan cenat-cenut. Padahal kita semua paham proses itu kadang menyakitkan dan kadang yang menyakitkan itu akan enak pada waktunya.
Artikel ini untuk merefleksi kita semua, sedikit banyak menyinggung para guru/pendidik dan pemegang jabatan di negeri ini. Dari judul tulisan saja bikin semua pendidik akan bertanya-tanya, “Apa ada teroris di lingkungan pendidikan? Mereka-kan yang melahirkan generasi emas di masa depan”.
Teroris tidak harus identik dengan pengeboman, teroris yang bukan tukang neror atau pengebom, malah jauh lebih berbahaya, termasuk pejabat di ‘yayasan’ yang tidak mau memikirkan kesejahteraan para guru/pendidik yang mengajar di sekolah/perserikatan.
Sudut pandang bagi anak-anak ‘kreatif’ bila ada di sekolah cenderung menjadi sorotan para guru. Bandel, sering telat, bikin gaduh kelas dan nilai selalu tidak memenuhi KKM, menambah beban bagi anak didik dan semakin tersudutkan saja. “Sudah tidak pandai bikin onar segala”.
Tanpa disadari cara berbicara (ngomong kasar) dalam proses belajar mengajar di sekolah di depan anak didik kreatif dan kritis yang tidak nurut karena kebandelannya secara tidak langsung membunuh karakternya. Padahal bila lebih jeli tidak seperti sangkaan guru-gurunya. Guru yang seharusnya digugu lan ditiru menjadi macan ‘pembunuh’ alias teroris berkedok guru. Siapa yang seharusnya dibenci dan dibenahi? Banyak pertanyaan yang belum terungkap yang pada akhirnya menghakimi anak-anak ‘kreatif’.
Baca juga : Melukis Senja - Opini Rudi Edogawa
Menyerah kalah, melawan tambah kalah, protes kalah plus semakin tambah hukumannya, pilihan tidak mengenakkan di antara pilihan. Maju terus pantang mundur meski kalah, namun terhormat. Menang dan menjadi bintang tanpa ada pertandingan, perlawanan. Pilihan yang terbaik berpikir jernih dan mengubah mindset tetap semangat di tengah-tengah pilihan yang menjebak.
Siapa yang benar dan siapa yang salah? Dalam hal ini bukan benar-benaran atau siapa yang patut disalahkan. Yang dibutuhkan, bagaimana cara mendidik yang sesuai dengan kondisi (kasih sayang atau menjadi guru killer) proses belajar mengajar di sekolah. Tidak dipungkiri hampir kebanyakan orang tua mengharap anaknya menjadi anak yang pintar di sekolah pilihannya.
Mau tidak mau peran besar ada di pundak para guru/pendidik. Pertanyaannya, sudah layakkah anda menjadi guru/pendidik yang jadi panutan bagi anak didik anda? Anda yang mampu menjawabnya. Selamat merenung dan salam sehat.