
Melukis Senja – Opini Rudi Edogawa kontributor sinarmu.co
Sinarmu.co – Bagaimana tipe seorang pemimpin di tempat anda bekerja? Apa menyenangkan dan membahagiakan? Apakah memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin? Bijaksana, arif atau sebaliknya kejam bahkan diktator. Apa anda pernah ditanya keluarga dan kesehatan anda?
Pertanyaan yang muncul di saat pimpinan dan bawahan tidak memiliki hubungan yang harmonis. Beberapa pemimpin mengambil kesempatan ke bawahannya untuk memperoleh simpatiknya. Banyak cara akan dilakukan untuk dapat diterima bawahannya, biasanya pemimpin seperti ini hanya mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri.
Meski terlihat untuk kepentingan bersama di mana dia bekerja bahkan dia menganggap layak memimpin. Salah satunya sering mendatangi bawahannya dan memberikan hadiah-hadiah supaya dapat diterima. Contoh sederhana dengan membelikan makan siang. Nanti jangan makan di kantin, ini sudah saya pesankan makanan untuk kalian semua. Hari ini saya bawakan makan untuk mencari perhatian bawahannya.
Sekian tahun bersama baru-baru ini lebih mendekat supaya dapat diterima. Meeh, mendadak berubah 220%. Yaa aneh saja, mungkin pimpinan anda sudah berubah lebih baik atau ada unsur lainnya. Semoga perubahannya tidak ditunggangi “Udang Dibalik Batu”.
Yang berada di bawah dan menjadi bawahan tidak sedikit yang “gerudel” melihat kebijakan atasan. Rasan-rasan menjadi solusi terbaik untuk melepas ketidak-cocokan, padahal mereka pun kalau jadi belum tentu akan lebih baik. Ketidak-puasan semakin tinggi ditambah kesejahteraan hanya propaganda di waktu berlomba-lomba rebutan kuota.
Belum lagi yang ditarget mendanai, kalau “koen” jadi, apa imbalannya? Menjadi pemimpin malah seperti sebuah proyek, meeh. Apa jadinya kalau memang dipimpin oleh orang-orang seperti ini? Padahal bila menilik pendidikannya dengan segala atribut kebesarannya orang ini hebat, namun di balik itu semua, mereka yang menciptakan permainan dan Pembodohan Yang Tersistem’.
Lagi-lagi apa jadinya dan apa yang bakal terjadi, serasa menunggangi kuda liar. Sebuah potret dan catatan buram yang terjadi di negeri ini.
Hidup Terasa Lebih Hidup
Dulu katanya “guru yang berbadan besar” ini purbakala. Bagi saya, hidup di mana belum mengenal namanya kecanggihan dan super kesibukan amat menyenangkan dan membahagiakan. Gotong royong saling tegur sapa, tepo seliro, meski dihimpit serba kekurangan mampu menumbuhkan rasa kekeluargaan dan membuat hidup semakin hidup.
Apalagi hidup jauh dari hingar-bingar yang namanya megapolitan. Saya masih ingat betul waktu masih kecil, bagaimana orang-orang tempo doeloe memberikan qudwah mengajari cara hidup bersosial. Hidup di bawah garis sederhana membuka warna tersendiri dalam menjalani hidup.
Satu lagi yang mulai menghilang atau sudah menghilang, yaitu kumpul bareng dengan tetangga rasa saudara keluarga (no rasan-rasan, kalau sekarang jangan ditanya nongkrong bareng tetangga yang muncul rasan-rasan bahasa gaulnya nge-gosip) di setiap waktu. Kalau sekarang cangkrukan, ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak sibuk, kata orang-orang yang super sibuk.
Padahal hanya berbagi menyisikan waktu dan sedikit menyempatkan kesempatan dari kesempitan. Memang saya akui, saya belum tahu-menahu hidup di pedesaan kala itu. Hidup di kota kecil dekat dan hidup di bantaran sungai yang masih alami. Ini sudah mampu merasakan kehidupan di desa.
Apalagi waktu itu penerangan listrik belum ada. Cempluk/oblik yang apinya ditutupi dengan gelas beling (semprong) berbahan bakar minyak tanah andalan dalam penerangan rumah. Sedangkan setongkring adalah alat penerangan lebih terang yang menggunakan balon (balonan lampu khusus untuk alat tersebut). Alat ini dimiliki oleh orang-orang yang sudah dianggap cukup.
Kondisi seperti ini tidak mengendorkan proses belajar mengajar anak-anak yang hidup di jaman tempo doeloe (prubakala). Serunya belajar bareng di dekat lampu penerangan sambil garuk-garuk kaki karena gigitan nyamuk. Cerita ini mungkin masih ada di negeri yang kita cintai ini. Belajar masih menggunakan alat penerangan seadanya.
Sekarang saja, orang-orang berbicara kecanggihan teknologi dan informasi, di sekitaran anda pulau Jawa masih banyak yang belum terjangkau signal internet. Ngono ae ngomong soal menyoal kecanggihan.
Dilema Kemajuan Teknologi
Memang hadirnya kecanggihan teknologi amat sangat membantu pekerjaan manusia itu sendiri, ingat di dalamnya juga tersembunyi dilema ‘cinta setelah cinta’. Kecanggihan teknologi membuat bumi dalam genggaman. Ini dirasakan oleh orang tempo doeloe, hadirnya alat dan media sederhana seperti radio dan televisi yang dianggap canggih kala itu menjadi tontonan yang menarik seluruh warga di kampung.
Radio didengarkan oleh puluhan tetangga, belum lagi televisi yang masih hitam dan putih yang aliran listriknya dari aki menjadi tontonan menarik seperti layar tancap, seru. Kesederhanaan dan sedikit mulai tersentuh teknologi malah dapat menambah keakraban tetangga.
Semakin ke sini teknologi yang terus berkembang pesat juga diikuti metamorfosis kehidupan manusia dari sisi sosiologi dan antropologinya. Teknologi dan informasi dengan mudahnya menembus mindset manusia yang belum siap menerima perubahan jaman. Rumah-rumah besar dibangun dan berlomba-lomba membuat rumah yang paling gede dan apik dewe dengan pagar yang tinggi takut diintip tetangganya.
Tetangga yang seharusnya menjadi saudara dekat orang yang menjadi penolong di saat dibutuhkan bukan malah sebaliknya menjadi momok yang mencurigakan dan menakutkan. Manusia yang dikenal dengan makhluk bersosial masih dalam tataran teori belaka. Pada kenyataannya sering melupa di saat masih kuat dan sehat, apa pun aktivitas dikerjakan semua, terkadang sampai lupa waktu dan kesehatan.
Sibuk dan kesibukan dengan alasan ini adalah tanggungjawab untuk hajat hidup orang banyak, terkadang malah sampai melupakan keluarga. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi yang dipikir hanya aktivitas yang ada di dunia. Padahal mereka adalah orang-orang yang bergerak diharapkan sentuhan untuk mengubah peradaban yang lebih berkeadaban.
Kumpul dengan tetangga terasa ribuan kilometer jaraknya. Rukun Tetangga dan berbagai kegiatan di sekitaran tempat tinggalnya sulit hadir. Jaga malam atau ronda untuk keamanan kampung malah membayar orang. Uang dan kesibukan menghancurkan sendi-sendi tataran kerukunan bertetangga.
Wajah Dunia Baru
Perubahan jaman dengan sentuhan mengatasnamakan kemajuan mengubah wajah dunia jadi bergaya. Kata generasi milenial, senggol donk. Ndesit jadi Ndeso, Ndeso jadi Kuto, Kuto jadi Megapolitan. Negeri ini yang lebih dikenal dengan keramahannya berubah menjadi individual dan materialistis.
Kumpul dengan tetangga merupakan aktivitas yang langka. Rumah seperti rest area setelah seharian beraktivitas. Generasi penerus juga ikutan terimbas oleh orang tuanya yang sibuk. Setelah sekolah yang dipegang hanya gadget dan sejenisnya. Pesan barang atau keperluan tinggal menyuruh orang lain, semakin ke sini kearifan lokal yang doeloe betul-betul dijaga tergantikan oleh aplikasi tinggal touch.
Tidak dipungkiri kemajuan sudah hampir dan tidak lama lagi serta semakin menggila mengerus sendi-sendi kehidupan di tempat anda. Lahan-lahan hijau mulai berganti peran menjadi pabrik-pabrik. Sungai-sungai yang dulu menjadi tempat aktivitas yang menyenangkan berubah menjadi tempat buangan limbah (loss kontrol dari pemerintah atau pemerintah memakai teori di-smoothing).
Belum lagi yang terjadi di instansi atau birokrasi di tempat anda berkarya, yang seharusnya untuk urusan yang mudah diselesaikan malah dipersulit. Apa lagi soal mengurus perijinan, seharusnya hadirnya kecanggihan mempermudah perijinan malah ribet dan ujung-ujungnya wani piro untuk menyegerakan urusan supaya segera selesai. Anehnya di negeri ini, peradaban semakin maju dan hadirnya kecanggihan teknologi malah semakin menguatkan untuk memgeruk dan menumpuk harta dan mengeksprorasi lama untuk dirinya sendiri.
Ojo Di Gawe Angel, "Di Gawe Gampang" Ojo Di Gawe Susah, "Di Gawe Bungah" Insya Allah Pinaringan, "Gampang Lan Bungah"
Bangil