Sinarmu.co – Refleksi 21 April 2022, memperingati “Hari Kartini”. Peringatan Kartini mengingatkan kita pada catatan kisah hidup perempuan bernama dan bergelar bangsawan, Raden Adjeng Kartini. Sang pengajar yang mempopulerkan kesetaraan hak pada perempuan.
Bahkan hingga saat ini masih para perempuan masih melakukannya, sebagai bentuk gerakan emansipasi wanita. Mereka layak dan bisa melakukan beberapa hal yang pada umumnya dilakukan oleh para lelaki saja.
Tujuh tahun sebelum Kartini lahir, ada toko Muhammadiyah yang juga bergerak dalam bidang emansipasi wanita. Dia lebih dikenal sebagai istri KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yaitu Siti Walidah.
Mengenal Aisyiyah
Ia memulai dari pengajian perempuan yang beliu selenggarakan, yakni “Sopo Tresno”. Melalui pengajian ini beliau menyadarkan, bahwa perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki.
Pendapat ini berdasarkan pada “QS Al-Baqarah ayat 228”. Ayat itu kurang lebih menjelaskan bahwa, perempuan memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya melalui jalan yang ma’ruf.
Pada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, bersepakat mengembangkan kelompok pengajian ini menjadi organisasi perempuan. Haji Fachrodin, mengusulkan nama organisasi ini adalah ‘Aisyiyah. Sehingga pada tanggal 22 April 1917 menjadi tanggal resminy organisasi ‘Aisyiyah .
Pada saat kongres ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah di Surabaya tahun 1926, peran perempuan terlihat nyata. Walidah menjadi sorotan publik karena mampu memimpin kongres diantara kaum pria. Pada saat itu masih belum menjadi hal lumrah keterlibatan perempuan dalam berorganisasi.
Walidah turut andil dalam mengangkat derajat perempuan dalam kepemimpinan-nya. Walidah selalu berpesan pada murid-murid nya bahwa menjadi perempuan itu harus cerdas, berjiwa srikandi.
Pendidikan Menurut Siti Walidah
Perhatian Walidah pada dunia pendidikan untuk perempuan sangat besar. Sehingga beliau mencetuskan gagasan “Catur pusat”. Menurut walidah dalam mendidik generasi bangsa juga melibatkan banyak pihak, tak sekadar suami istri. Akan tetapi ada “Catur Pusat”, yaitu pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah secara kompak.
Nama “Kartini” tidak hanya sebagai representasi dari sosok pejuang wanita kelahiran 21 April 1879 tersebut. Jika Kartini mewakili perjuangan perempuan secara individual, maka secara organisasi kita dapat menjadikan Aisyiyah sebagai simbol perjuangan perempuan di Muhammadiyah. Di dalam Aisyiyah ini, para “Kartini Muhammadiyah” berkumpul.
Selanjutnya, ada Kartini-kartini muda yang telah dilahirkan oleh sosok ibu (Aisyiyah) tidak lain yaitu Nasyiatul Aisyiyah, Immawati dan Ipmawati. Mereka menjadi aset perempuan masa kini dalam meneruskan perjuangan “Kartini” baik di dalam Muhammadiyah maupun di luar Muhammadiyah.
Sebagai penutup tulisan ini, mengutip pesan dari Siti Munjiyah salah satu tokoh perjuangan perempuan di Muhammadiyah.
“Perempuan dan laki-laki dalam Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan, dan bahwasanya yang dikatakan berkemajuan dan kesempurnaan ialah menurut hak dan batas-batasnya sendiri” (dikutip dari naskah pidato Siti Munjiyah dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama, 22-25 Desember 1928, Yogyakarta).
Ditulis oleh : Dachirotus Sa’diyah, Ketua Umum PD IPM Kabupaten Pasuruan (2021-2023)
Akar10
Refleksi 21 April, Aisyiyah dan Kartini Muhammadiyah