Opini

IPM DIOBJEKTIVIKASI OLEH MESIN POLITIK, MAU SAMPAI KAPAN ?

IPM DIOBJEKTIVIKASI OLEH MESIN POLITIK, MAU SAMPAI KAPAN ?

Sinarmu.co – “Ku persembahkan untukmu kawanku, yang telah menjadi sia-sia dalam panggung kesandiwaraannya. Dalam dusta yang menganga dan kepada banyak kader yang telah kau rusak nalarnya!

Lihat, lihat dengan seksama! Sebab tingkah lakumu sebagian besar darinya tidak menjadi pintar berdialektika, tidak pintar berbicara gagasan, tidak pintar lagi untuk sesekali bertukar pikiran, tidak lagi pintar membaca isu. Ironinya, mereka telah gagap untuk mengeja gejala. Dan, akan terus begini dan begini terus pada akhirnya.

Lihat dengan betul, kawanku! kini kau tak lagi menjadi pribadi yang utuh. Menjadi lapisan dari bagian seorang hipokrit yang berpidato di atas mimbar masjid. Menjadi keterasingan dari bagian kami. Sungguh itu sekali lagi menjadi kesia-siaan!

Kau tak lagi menjadi seorang yang garang. Melembek. Nalar kritismu telah terbunuh dan kau yang membunuhnya. Hanya karena kekuasaan (jabatan), prinsip moralmu sudah lagi tak berfungsi, setelah kau gadaikan. Akan menjadi karat, tak berguna. Sekalipun kau berbicara tentang pergerakan, maupun pemberdayaan, pencerdasan anak bangsa. Hasrat baikmu telah meredup, menjadi usang dalam sejarah semangat revolusimu dulu! Sebab tercampur aduknya sudah oleh kontaminasi politisi jelek itu, maksudku, manusia-manusia keji yang telah melakukan dehumanisasi dengan IPM sebagai OBJEKTIVASI POLITIK.

O,..itu amat menyebalkan, sungguh!

Hei! kalian manusia dalam kehidupan sumbang ini. Mustinya murka melihat kondisi rumah kalian telah dirusak dan maknanya sudah dipelintir sedemikian rupa, hingga tidak utuh artinya. Mampuslah kita!

O, hal apa yang lebih menyebalkan dari seorang intelektual yang berbicara pembebasan tapi masih menjadi momok dalam tubuh persyarikatan, dari seorang kader yang rela diperalat oleh mesin politik yang bernama, senior, politisi ulung, koalisi, fokada, dari seseorang yang konservatif menerima kemajuan. Apalagi kalau bukan suatu realita yang harus kita terima bahwa bara api telah padam. Hasrat telah dieksploitasi, penalaran kritis telah mati dan kitalah yang sebenarnya telah membunuh itu semua”

PEMANTIK KESADARAN

Sajak tersebut, sebagai pembuka dari esai ini, yang bertujuan untuk memantik kesadaran kita, sekaligus menjawab. Selama ini ternyata sebagai subjek kita terperungkup dalam kesadaran “sinisme”. Kesadaran itu, berasal dari buah pikir seorang filsof kontemporer, bernama Zizek. Ia melihat pada suatu realitas yang ada pada subjek, seringkalinya subjek tidak mampu keluar dari suatu keadaan tertentu. Karena kesadaran tersebut, terbentuk oleh konstruk sosial, maupun budaya yang dibangun untuk menjadikan subjek sebagai seorang yang tak berdaya. Hal tersebutlah mengapa kemudian menjadi alasan dasar tulisan ini terbit. Tujuannya adalah, untuk menjawab dari apa-pun yang membuat kita selama ini, menjadi pribadi pecundang.

Baca juga : Hegemonisasi Stigma Buruk Terhadap Pelajar

Seperti peribahasa, “Nasi telah menjadi bubur”. Begitulah kiranya mencerminkan sedikit bagaimana kondisi keadaan subjek kita saat ini yang telah lama menyadari akan hal demikian. Bahwa sebetulnya, tanpa disadari, kita sudah didesain sedemikian rupa, agar tunduk patuh dalam kekuasaan. Sehingga fokus juang kita, tidak lagi jelas arahnya, dan hampir lupa memprioritaskan nilai-nilai Amar ma’ruf nahi munkar, yang secara utuh maupun murni. Sedangkan yang kita pahami benar, bahwa Ikatan Pelajar Muhammadiyah hadir, merupakan sebagai wujud tongkat estafet perjuangan dakwah Muhammadiyah dalam ranah pelajar.

KEKUASAAN

Tapi, pada kenyataannya, yang ada justru saling lomba berebut kedudukan kekuasaan (jabatan) dalam struktural hirarki yang ada. Sehingga, abai terhadap nilai-nilai amalan yang telah diteladani. Sebagaimana seharusnya menjadi kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) adalah representasi dari masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Hal tersebut, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai utuh ke-IPM-an, yang ditawarkan akibat arus kaderisasi IPM yang telah dirusak oleh praktik politik, yang kerap kali terjadi. Sehingga menyebabkan alur berfikir penalaran kritis kader IPM melembek. Lebih sialnya lagi, statement “Siapakah yang lebih dominan, dialah yang akan menentukannya”, menjadi momok yang meresahkan. Hal ini kemudian, membuktikan bahwa kader IPM tengah mengalami degradasi moral atau amoral.

Arus dinamika yang terjadi di IPM saat ini, sangat terang-terangan beradu sengit untuk saling berlomba menggapai hal tersebut. Yang sebetulnya tidak pantas untuk diterapkan. Karena mengingat IPM bukanlah tempat untuk dijadikan sebagai kelinci percobaan praktik politik. Hal itu merupakan sebuah pelecehan yang harus disadari. tentunya, untuk menyadari itu, perlu adanya kesadaran kolektif sebagai kekuatan untuk sebuah perlawanan terhadap kekerasan simbolik. Dengan demikian, amat jelas jika IPM saat ini, dalam situasi dekandensi. Mengapa bisa demikian, mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Jogja, 14 Januari 2023 (Raihan Qashid)
Akar10

About Author

sinarmu

Sinarmu.co | Mencerahkan semesta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *