Sinarmu.co – Dimata masyarakat awam, khususnya umat Islam Indonesia. Warga Muhammadiyah mendapatkan stigma kurang bisa diajak bercanda karena dianggap kurang ngopi dan kurang nongkrong. Karena aktivitasnya dipenuhi dengan acara rapat-rapat formal dengan suasana tegang dan spaneng. Serta terlalu sibuk dengan urusan administratif yang cenderung kaku.
Menjadi lucu seakan anomali (menyimpang) dan kalangan yang berada di barisan “Muhammadiyah Garis Lucu”. Seakan masuk bagian minoritas di kalangan internal Muhammadiyah. Sebab jarang sekali ceramah mubaligh dan tokoh Muhammadiyah yang menyampaikan ceramahnya dengan lucu.
Prof. Abdul Mu’ti, yang kini tengah menjabat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Guru besar Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah. Ia memberikan pandangan lain bahwa Muhammadiyin (Orang-orang Muhammadiyah) yang bisa melucu, justru bisa menjadi lebih laris. Bahkan menjadi idola dan legenda. Sebagaimana K.H A.R Fakhruddin dengan ceramah yang mencerahkan yang dibawakan dengan menyenangkan serta isi yang dalem nan adem.
Abdul Mu’ti disebut-sebut oleh PWMU.CO dan sebagian kalangan dalam forum-forum Muhammadiyah sebagai “Bapak Muhammadiyah Garis lucu.” Yang mana ketika ceramah atau menjadi pembicara di publik selalu menyelipkan humor lucu bermutu dan sarat makna.
Baru-baru ini Abdul Mu’ti menerbitkan sebuah buku yang berisikan tulisan jejak kelucuan yang dihimpun dalam berbagai kesempatan pengajian, ceramah ilmiah, twitter, facebook, instagram. Karena mendapatkan banyak respon positif, Abdul Mu’ti memutuskan untuk dibukukan dengan jumlah cerita lucu dalam bukunya dibatasi 54 cerita, dengan menyesuaikan usia penulis yang baru saja menginjak ke 54 pada September bulan kemarin.
Review buku: Guyon Maton Lucu Bermutu ala Muhammadiyin
Buku yang terbit dalam rangka kado milad ke-54 Prof. Abdul Mu’ti ini, sangat ringan dan menarik. Definisi ringan yang saya pakai ialah ringan dibaca dan ringan dibawa. Karena selain ukurannya tidak besar dan kandungan isi cerita yang diangkat juga mudah untuk dicerna sehingga pembaca bisa dengan mudah menangkap pesan kandungan buku yang hanya berjumlahkan halaman sebanyak 116 lembar halaman ini.
Dengan desain sampul yang terkesan ramah di mata dan ragam ilustrasi karikatur untuk melengkapkan visualisasi dari setiap cerita yang diangkat sangat menarik, dan menguatkan kesan lucu setelah membaca tiap-tiap cerita yang terkandung dalam buku. Karena kumpulan humor yang dihimpun tidak diurutkan berdasarkan tema, maka pembaca dapat memilih bebas atau secara acak. Memilih ingin memulai membaca baik dari depan dulu, belakang atau bahakan dari tengah juga bisa.
Humor yang termuat sendiri sebagian dari pengalaman penulis, sebagian juga karangan, dan sebagian ialah jokes daur ulang. Meskipun demikian masih menampilkan orisinalitas ciri khas penulis yang berkualitas ulama cum-intelektual. Buku ini bisa dijadikan gambaran atau referensi bagi masyarakat umum dan kalangan Muhamamdiyin yang ingin membawakan humor lucu, tapi tetap sarat makna sebagaimana dikatakan dalam prakata penulis. Bahwa kompilasi humor yang terhimpun ialah kumpulan cerita lucu yang bermutu atau “guyon maton”. Bukan “guyon waton”: asal lucu, atau “guyon saru” : lucu jorok.
Guyon terselip satir yang menyentil
Ketika mengikuti program Young Muslim Leader Exchange di New zealand pada 2007. Selesai ceramah, sambil ramah tamah terdapat dosen senior yang mempertanyakan gelar “Drs” pada kartu nama Drs. Abdul Mu’ti, M.Ed. yang telah dibagi-bagikannya.
“Gelar anda di sini tertulis ‘Drs”. Berapa gelar doctor yang anda punya?,” Dengan kaget Abdul Mu’ti mendengar pertanyaan tersebut sambil tersipu menjawab. “Saya sedang menempuh program doctor. Belum lulus.”
“Kok Anda tulis “Drs” Saya memahaminya anda memiliki beberapa gelar doctor. “Drs” kepanjangan dari doctors.” Sambil menahan malu menjawab, “Drs itu artinya Doctorandus. Gelar sarjana di Indonesia. Warisan Pendidikan Belanda. Drs itu setingkat dengan BA honor di New Zealand.” “Tapi di Indoensia, “Drs” juga bisa berarti doctors.” dengan bercanda.
“Maksud anda?” Lanjutnya Abdul Mu’ti menjelaskan di Indonesia banyak orang mendapatkan gelar doctor honoris causa hingga mendapatkan tiga bahkan sampai lima gelar doctor honoris causa.
“Sebagian ada yang memang secara keilmuan sangat hebat. Sebagian lainnya lebih karena sedang menjadi pejabat. Untuk para pejabat, kampus-kampus seperti berlomba memberikan gelar honoris causa.”
Dengan heran dosen senior itu bertanya “Kenapa begitu ?”
Dengan enteng Abdul Mu’ti menjawab, “Itulah hebatnya orang Indonesia. Bangsa yang sangat dermawan. Kalau anda ke Indoneisa bisa saya usulkan mendapatkan gelar doktor honoris causa. Gelar anda diubah menjadi ‘Drs’ seperti saya.” (hal. 3)
Membaca ini saya sambil senyum nyengir sekaligus takjub dengan humor pembuka dan langsung menjadi favorit saya. Justru fenomena ini menimbulkan pertanyaan, dari sekian banyak pejabat publik yang mendapatkan dan bertumpuk gelar kehormatan doctor honoris causa dari perguruan tinggi ternama. Apakah semuanya sudah memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap bangsa dan negara sehingga pantas.
Alih-alih berkontribusi dan mendapatkan prestasi yang punya relevansi dengan dunia ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Justru yang ditampilkan ialah kepentingan politik dan terkesan diobral . Mau bagaimana pun itu kebijakan tersebut ialah ranah institusional kampus.
Humor satir di atas ialah bentuk kritik untuk intitusi kampus untuk memperketat kualifikasi, dan jangan sampai tercemar menjadi kepentingan pragmatis dan transaksional.
***
Polisi tidur terdapat dimana-mana, terutama di jalan kampung dan komplek perumahan dengan bertujuan agar perngguna jalan dapat mengurangi kecepatan laju kendaraan. Dalam pandangan masyarakat, polisi tidur dimaknai berbeda-beda. “Polisi memang hebat dan penuh pengabdian. Tidur saja masih bisa menjaga ketertiban.” Demikian pandangan pecinta polisi. Sedangkan yang tidak suka polisi akan berujar “Polisi memang payah. Jangan kan terjaga, tidur saja masih bikin susah.” (hal 70 )
Sebuah humor yang mengangkat gambaran riil masyarakat yang cenderung medikotomikan kesan terhadap polisi yakni like or dislike (suka atau tidak suka). Dalam pengajian Muhammadiyah kampung yang biasa saya ikuti ada alternatif yakni di tengah atau biasa dikenal “Sikap Tengah/Tawassuth/Moderat.” Yakni menempatkan diri di tengah-tengah dengan bersikap adil dalam memandang suatu perkara. dengan mengambil sikap tengah kita bisa mengapresiasi sekaligus melakukan kritik dan tidak terlalu terpacu berpandangan ekstrim atau fanatik.
Figur “Lucu” Muhammadiyah kekinian
Ceramah da’i Muhammadiyah memang tidak banyak yang menyampaikannya dengan lucu. Dan akan sangat kontras bila dibandingkan dengan Kyai NU. Karena lazimnya disampaikan dengan kaku dan ilmiah.
Dalam konteks kekinian dengan adanya Prof. Abdul Mu’ti ditataran nasional yang masih aktif di Pimpinan Pusat Muhammadiyah rasanya sudah bisa memberikan pandangan bahwa Muhammadiyah bisa juga tidak terlalu serius. Apalagi sudah diterbitkannya buku yang berjudul “Guyon Maton Lucu Bermutu ala Muhammadiyin.”
Muhammadiyah juga telah melahirkan komika yang turut meramaikan panggung komedi nasional antara lain : Dzawin Nur Ikram, Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat yang senang mengangkat materi seputar santri dan khazanah Islam, Yusril Ihza Fahriza, Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta yang aktif mempopulerkan pandangan Muhammadiyah dari podcast ke podcast yang lain.
Di tataran akar rumput kabupaten Pasuruan, Pimpinan Daerah Muhammadiyah diketuai oleh Ayahanda Aufin sosok figur ulama berintelektual yang juga penuh jenaka dan murah senyum. Dengan pola interaksi dengan orang lain yang tidak kaku dan pandai menyelipkan guyonan serta tidak terkesan menggurui, beliau jadi mudah diterima oleh lintas kalangan.
Selain itu ada juga Tokoh Muhammadiyah Kabupaten Pasuruan yang hanya melihat cara berjalan dan senyumnya dari kejauhan sudah bisa menularkan kebahagiaan yaitu Kakanda Khusnul Abidin yang kini menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Tokoh yang dikenal karena aktif dengan agenda relawan kemanusiaan dan kepanduan. Dan masih banyak lagi nama lain yang tidak bisa disebutkan satu demi satu.
Identitas Buku
Judul : Guyon Maton Lucu ala Muhammadiyin
Penulis : Abdul Mu’ti
Penerbit : IBTimes.id PT Litera Cahaya Bangsa
Cetakan : I, September 2022
Ukuran : 13×19 cm
Jumlah Halaman : 116 hlm
Fahris Haria Febrilian, Pustakawan Perpustakaan KH. Ahmad Dahlan Masjid Al- Jihad