Tanpa NPWP, Kisah Zainuddin Maliki Menjadi DPR RI – Rangkuman sinarmu.co
Sinarmu.co – Zainuddin Maliki, anggota DPR Republik Indonesia 2019-2024, hadir dalam rangkaian Rapat Pimpinan Wilayah (RAPIMWIL) ke-2 Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur (26/11). Ia berkesempatan memberi Stadium General dalam acara yang berlangsung di gedung PWM Jawa Timur itu.
Dalam kesempatan tersebut, Zainuddin bertanya kepada ratusan kader Pemuda Muhammadiyah yang hadir di hadapannya. “Siapa di sini yang ingin masuk surga? Angkat tangan…” serunya.
Para peserta RAPIMWIL pun kompak mengangkat tangannya. Kemudian Zainuddin melanjutkan, “Siapa di sini yang mau maju menjadi anggota dewan?” tanyanya. Menanggapi pertanyaan kedua itu, para hadirin bungkam.
Baca juga : Sekolah Demokrasi AMM, Pendidikan Pemilu Bersama KPU
Anggota DPR RI itu pun tidak heran. Menurutnya ada dua hal yang membuat para pemuda kurang minat menjadi dewan. “Pertama, adalah karena NPWP,” sebut Zainuddin. Ia menjelaskan, NPWP adalah singkatan dari nomer piro wani piro? (coblos nomor berapa? berani ‘bayar’ berapa?).
Istilah itu merujuk pada kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia yang memilih hanya karena iming-iming uang. Zainuddin menyebut istilah ‘maju tak gentar, coblos yang bayar’. Dalam hal ini, menurutnya, para pemuda saat ini masih belum siap ‘amunisi’ untuk kesana.
“Kedua, adalah paradigma bahwa politik itu kotor,” tutur Zainuddin. Sebagian warga Indonesia tak terkecuali warga Muhammadiyah menurutnya, masih berpandangan bahwa politik itu kotor. Sehingga mereka berpikir tidak perlu ikut-ikutan kesana.
Modal Sosial Sebagai Ciri Negara Maju
Zainuddin kemudian menceritakan secuil kisahnya mencalonkan diri dan akhirnya terpilih menjadi DPR RI bukan dengan modal keuangan atau pun takdir, tetapi modal sosial. Merujuk pada penelitian Fukuyama, negara yang maju memiliki social capital, high trust society. Kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara negara tinggi.
Dengan modal sosial itulah Zainuddin Maliki berhasil terpilih menjadi dewan melalui daerah pilih X Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Gresik. Ia berkisah, para caleg biasanya ingin datang kepada masyarakat. Memberikan ceramah atau orasi politik, kemudian ‘membagikan uang saku’ agar mereka ingat untuk memilih yang bersangkutan.
Namun sebaliknya dialami Zainuddin. Saat itu, ia sempat kewalahan untuk menghadiri undangan mengisi kajian-kajian di dapilnya. Bahkan selesai mengisi kajian, bukannya membagi-bagikan uang saku, dirinya malah mendapat ‘amplop’, layaknya seorang muballigh.
“Inilah bedanya kalau di Muhammadiyah. Saya adalah profesor, pernah menjadi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, mantan rektor UM Surabaya. Itu adalah modal sosial saya di persyarikatan ini,” jelas Zainuddin.
Mantan rektor UM Surabaya itu juga pernah mendapati pertanyaan, sudah menyiapkan (uang) berapa untuk maju menjadi dewan? “Saya ini profesor, kalau ditanya menyiapkan berapa saya tidak bisa menjawab. Tetapi kalau pertanyaan menyiapkan apa (pemikiran), ini saya siap,” jawab Zainuddin Maliki.
Dalam forum tersebut ia kembali menegaskan bahwa jika pemuda ingin menjadi Dewan Perwakilan Rakyat atau legislatif, tidak mesti harus dengan modal finansial, baginya itu bukan yang utama. Ia menekankan pemuda harus memiliki modal sosial yang baik. (efha)