Membumikan Islam, 86 Tahun Buya Syafii: Cahaya yang Tak Pernah Lekang Diterpa Masa. Tulisan Fahris Haria Febrilian Sekretaris Organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kabupaten Pasuruan.
Sinarmu.co – Salah satu tokoh muslim Indonesia terkemuka. Sang ilmuwan ulung, dengan 86 tahun angka usianya. Figur yang sempat menduduki jabatan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005). Sebut saja, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Lebih akrab, disapa dengan sebutan Buya Syafii.
Di usia yang tak lagi muda, ia masih konsisten menampilkan keteguhan dan konsistensinya. Terutama kepada perhatian pemikirannya dalam 3 tema besar. Yakni Ke-Islaman, Ke-Indonesiaan, dan Kemanusiaan.
Buya Syafii. Seorang ulama, cendekiawan dan pendidik Indonesia yang lahir di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Beliau adalah insan produktif dalam berkarya dan mengeluarkan pendapat.
Buya Syafii, selalu memberikan gagasannya dalam menjawab permasalahan sosial keagamaan, bernegara bahkan isu global terkait kondisi perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan riweh ini. Baik secara lisan atau pun tulisan. Melalui ulur pena yang rutin dituliskan melalui media.
Dengan aktifitas kebiasaan hidup yang sederhana, Buya Syafii kerap kali menjadi sorotan dan menuai decak kagum di dunia maya. Usai potret kesederhanaannya beredar di jagat lini masa media sosial yang tampak menyapu halaman teras rumah dan kerap kali tertangkap kamera sedang bersepeda.
Bahkan, beberapa waktu lalu, beliau kedapatan menaiki KRL (Kereta Api Listrik) dengan duduk di kelas ekonomi. Rasanya sangat pantas apabila Buya dijadikan teladan sekaligus panutan atas kesederhanaan sikap hidup yang dijalaninya.
Decak kagum terhadap beliau, dengan berbagai macam pesona yang telah diulas seperti untaian kata tersebut diatas. Saya mengajak kepada pembaca artikel ini (kamu) untuk mengenal lebih dalam samudera khazanah pemikiran Buya Syafii. Sebagai refleksi terkait isu Islam, Umat, dan masalah-masalah sosial lainnya yang terkandung dalam buku “Membumikan Islam”.
Materi yang bisa dijadikan bahan diskusi terkait ide atau gagasan yang dilontarkan ke tengah masyarakat. Melalui artikel ini juga, saya ingin menyajikan review buku yang berjudul “Membumikan Islam” .
Buku ”Membumikan Islam” merupakan sekumpulan beberapa tulisan gagasan yang ditulis oleh tangan dingin Buya Syafii. Salah satu karya yang pernah dimuat di berbagai media, lalu dikumpulkan dan disusun dengan ditarik benang merah yang relevan. Hingga sesuai dengan pembahasan bab atau tiap bagian pada buku ini.
Meski Buku berjudul “Membumikan Islam” ini dihimpun dari tulisan Buya Syafii semenjak 1980-an, saya pikir buah pemikiran yang terkandung tiap tulisannya sangat berorientasikan masa depan dan mampu menembus ruang waktu. Sebab masih banyak masalah yang dihadapi saat ini sesuai konteks dengan permasalahan yang pernah terjadi dimasa lampau, semasa Buya menuliskan tempo lalu.
Secara garis besar, buku dengan sampul yang didominasi warna putih dengan imbuhan potret sketsa wajah Buya Syafii ini, menjelaskan tentang untuk tidak terlalu berlindung pada besarnya jubah masa lalu kejayaan umat Islam. Namun untuk berfokus mengangkat kejayaan Islam. Kini dan di sini, serta bahagia nanti dan di sana.
Kita jangan mau lagi terpasung dalam jubah kebesaran masa lampau. Sikap yang betul ialah, dengan menjadikan masa lampau itu sebagai cermin dan sumber inspirasi untuk menatap masa depan dengan rasa percaya diri.
Pada Bagian Pertama : Al-Qur’an dan Beberapa kajian
Dalam memahami dan mengkaji Al-Qu’ran, Buya Syafii sangat menampilkan corak pemikiran yang banyak dipengaruhi oleh Fazlur Rahman. Seorang sarjana muslim kontemporer yang aktif menekuni kajian keislaman, sekaligus sosok pembaharu dalam peradaban dunia modern pemikiran Islam. Dimana Buya Syafii dapat berkesempatan menimba ilmu secara langsung dan mendapatkan bimbingan Fazlur Rahman, semasa berkuliah S3 dalam program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, Amerika Serikat.
Artikel berjudul “Al-Qur’an : Puncak gunung Es”, berasal dari kutipan Rahman yang berbunyi “Al-Qur’an adalah ibarat puncak sebuah gunung es yang terapung”. Di bawah puncak itu ada sekitar 90% bagian yang terendam dalam air sejarah, dan hanya 10% saja yang tampak dipermukaan. (hal 79)
Menurut Rahman, solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam hanya mungkin bila Al-Qur’an dapat dipahami secara utuh dan menjadikan data sejarah untuk membingkai masa depan peradaban Islam.
Penjelasan lebih lanjut, Buya Syafii menerangkan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat 3 Tema yang berulang kali disebutkan. Yakni “Tuhan, manusia dan alam.” Al-Qur’an yang merupakan inti sari dari seluruh wahyu yang pernah diturunkan oleh Allah sebagai dokumen petunjuk bagi manusia (hudan lin naas), dengan fungsi sebagai petunjuk praktis bagi kepentingan kehidupan manusia di sini, kini, dan nanti . (hal 18)
Sebab Al-Qur’an merupakan risalah wahyu yang diturunkan melalui Nabi Muhammad ini, bercorak metahistoris yang tidak terikat pada sejarah, ruang dan waktu. Tidak pula tunduk pada budaya. Terutama budaya Arab, tempat dimana wahyu Al-Qur’an diturunkan melainkan melintasinya.
Dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada jendela alam semesta, diharapakan manusia akan menemukan Tuhan. Ketika sudah di posisi tersebut, akan memberikan keamanan dan kedamaian pada jiwanya. Manusia dengan keterbatasan (Finite), menjadi hijab untuk dirinya mengenal secara utuh segala yang tak terbatas dan tak terhingga (Infinite). (hal 43)
Manusia termasuk para nabi, jika tanpa takwa, maka tidak dapat menjadikan Tuhan sebagai jaminan keselamatannya. Di sini-lah sikap dan fungsi takwa, guna menjaga diri dan sadar akan kehadiran Allah dimana-pun seseorang berada menjadi penting. Hanya iman, amal saleh, dan perilaku takwa saja yang bakal mampu meyelamatkan manusia dalam perjalanan hidupnya.
Lanjutnya, Buya menyerukan dalam menjalani hidup untuk memiliki kesadaran yang tinggi dan menghayati dalam setiap perbuatan dengan bunyi “Hidup ini memang terlalu singkat untuk dipermainkan.” Ringkasnya agar kita tidak menghabiskan hidup yang singkat ini secara sia-sia dan semua amal perbuatan ditujukan agar mencapai keberkahan hidup.
Buya Syafii beranggapan bahwa kini peradaban tengah mengarah atau condong pada zaman yang materialistis dan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan sudah semakin surut dan redup. Bangsa muslim juga harus percaya diri dalam menghadapi gempuran peradaban yang sekuler dan ateistis. Serta harus optimis mengahadapi masa depan untuk mengangkat Islam secara berwibawa.
Al-Qur’an tidak mengajarkan agar kita pesimis menghadapi gempuran peradaban sekuler dan ateistis itu. Malah senantiasa untuk menyerukan memperjuangkan kemanusiaan dalam menciptakan dunia yang lebih adil.
Bagian Kedua : Agama dan Budaya Masyarakat
Buya Syafii memandang kawasan Timur Tengah atau yang lebih tepat kawasan Asia Barat, dan Afrika Utara. Sebagai kawasan strategis, tidak hanya dilihat dari sudut pandang geopolitik saja, tetapi juga dari sudut pandang agama dan peradaban.
Timur Tengah sangat memainkan peran penting dalam memberikan corak agama dan peradaban sebab 3 (Tiga) agama monoestik (Yahudi, Nasrani , Islam) bermula dari kawasan tersebut. Buya juga menyebut, bahwa kawasan Timur Tengah ialah pusat dunia. Pasalnya, Tuhan memberikan rasul dan wahyunya di bumi belahan ini, bukan yang lain seperti Maumere atau Cirebon. Karena sudah dapat dipastikan radius pengaruhnya akan memakan tempo yang berabad-abad terlebih dahulu untuk dicerna umat manusia. (hal 85)
Buya Syafii menjelaskan awal mula permusuhan Islam dan Kristen hingga menciptakan trauma historis berkepanjangan dalam hati dan otak Bangsa Eropa, ialah akibat peristiwa yang mengguncangkan dunia pada 1453 Masehi. Yakni ketika Imperium Turki Utsmani berada di tangan Sultan Muhammad II dengan gelar Al-Fatih, yang sekaligus menjadi panglima dalam perang. Ia mampu menaklukkan Konstatinopel, ibu kota Romawi Timur (Bizantium) lambang kebesaran dan harga diri Kristen Timur Ortodoks. (hal 100)
Namun Buya Syafii menghimbau untuk jangan terlalu berbangga dan terlena dari kejayaan tersebut. Apalagi terlalu lama berlindung pada kebesaran selimut kejayaan masa lalu. Sebab masalah keumatan yang lebih mendasar ada di depan mata. Artinya kita hanya perlu banyak berkaca pada sejarah untuk merelevansikan-nya dengan konteks zaman yang dihadapi.
Buya menyerukan bahwa, tugas intelektual muslim dalam bekerja keras dan berpikir serius untuk menemukan jawaban dari pemecahan masalah-masalah mendasar yang dihadapi manusia. Seperti keadilan ekonomi dengan mengaitkannya pada doktrin Islam yakni tentang keesaan Allah dan kesatuan manusia.
Beriman pada Allah haruslah punya implikasi kehidupan kolektif umat manusia berupa terwujudnya keadilan di bidang sosio-politik dan sosio-ekonomi. Kegagalan dalam mewujudkannya keadilan artinya pemeluk Islam masih gagal memahami dan menerjamahkan prinsip-prinsip keagamaan paling mendasar. (hal 108)
Pesan terakhir dalam menutup bagian ini ialah, dalam memecahkan masalah -masalah kemanusiaan yang semakin kompleks dan ruwet pada abad yang akan mendatang, umat Islam haruslah tampil sebagai umat yang beriman dan cerdas. Al- Qur’an bila terpegang di tangan umat yang cerdas, akan memberikan konsep kunci yang sangat mendasar dalam memecahkan persoalan kemanusiaan sepanjang zaman. Mari menatap masa depan dengan kepala tegak, tapi dengan hati yang senantiasa tunduk kepada Allah dan prinsip kebenaran.
Bagian Ketiga : Dakwah dan perubahan masyarakat
Dalam bagian ketiga, Buya menyoroti masalah dakwah dan politik dalam tataran nasional dan dunia, yang sekarang sedang terombang-ambing ketidak pastian hidup. Bisa dikatakan, kini dunia sedang mencari sebuah pergantungan spritual yang kuat dan kukuh, yang dapat dijadikan landasan etika baru bagi kelangsungan hidup umat manusia di bumi. Bila tidak kunjung ditemukan, khawatir bahwa eksistensi manusia dalam ekosistem manusia dalam ekosistem dunia ini tidak akan dapat bertahan lama. (hal 139)
Dalam pandangan Islam, politik hanyalah sebuah medium terpenting untuk mencapai dakwah. Jadi bukan sebaliknya, dakwah dijadikan medium untuk mencapai tujuan politik. Yaitu politik yang terlepas dari kendali moral.
Sayangnya politisi dunia Islam, sering terlepas dari tujuan-tujuan dakwah. Yakni tercapainya sebuah masyarakat dunia yang bermoral dan berlandaskan wahyu. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menempatkan manusia dan persoalan hidupnya sebagai tema sentral, dan ungkapan Al-Qur’an ialah Hudan lin nas atau Hudan lil muttaqin adalah bukti kuat bahwa Al-Qur’an menawarkan dirinya secara fungsional untuk memimpin manusia, secara moral ke arah jalan lurus dan benar.
Dakwah dan politik harus selalu terintegrasikan. Bila tidak, politik hanya menciptakan polarisasi kawan dan lawan demi kepentingan jangka pendek. Sedangkan dakwah ingin mempersatukan umat. Di mata wahyu, kegiatan politik haruslah diorientasikan kepada tujuan-tujuan dakwah agar politik tidak terlepas dari bingkai cita-cita moral. (hal 147)
Dalam tataran politik dalam negeri, Buya Syafii mengemukakan agar Pancasila untuk tidak malu-malu lagi megundang intervensi wahyu untuk menyinari dirinya. Di bawah sinar wahyu, Pancasila akan punya dasar moral yang kokoh, moral transedental, bukan hanya moral politik yang terlalu mendunia dan cenderung korup. (hal 187)
Dengan mengembangkan kutipan dari Prof. Dr. Baharuddin Lopa, mantan jaksa tinggi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan yang terkenal. “Tanpa agama, Pancasila akan mati”. Diharapakan dengan penghayatan agama secara jujur dan sungguh-sungguh, kelemahan bangsa dalam soal moral akan dapat diobati.
Perihal sumber moral Pancasila, Buya tidak melihat sumber lain selain wahyu dan menegaskan kembali bahwa Pancasila harus mampu berdialog dengan sumber kehidupan dengan cara yang diajarkan oleh agama.
Bagian Keempat : Islam dan Politik di Indonesia
Buya Syafii mengamati dalam 3 (tiga) dekade Orde Baru berkuasa dan pada Kabinet Pembangunan VI (1993). Terdapat proses santrinisasi politik karena sekitar 90% dari seluruh menteri ialah kaum santri. Baik dalam arti kualitatif dan kuantitatif. Tentu orang akan menganggap keberhasilan kabinet ini, ialah sebagai keberhasilan budaya politik santri dan kegagalannya sebagai kegagalan budaya politik santri pula. (hal 193)
Proses santrinisasi tidak hanya terjadi di kabinet atau kekuasaan nasional saja. Tetapi secara mencolok juga terjadi di Golkar dan kekuatan politik lain. Seperti yang kita tahu bahwa di era Orde Baru peran ABRI sangat dominan, khususnya angkatan darat.
Bagi Buya Syafii, moral dan kejujuran dalam mengurus negara tidak bisa ditawar. Buya tidak percaya dengan doktrin yang mengatakan bahwa dalam berpolitik orang harus bermain kotor. Buya menyebut memercayai doktrin ini, sama saja memisahkan iman dari dada seorang santri. Selama prinsip moral dan kejujuran tetap dijadikan pedoman, maka ada harapan bahwa santrinisasi politik akan diterima sebagai sesuatu proses yang wajar dan alamiah.
Dalam sudut pandang yang lebih tinggi, yakni dunia. Buya menyorot perilaku politik umat di berbagai negara Muslim, yang justru cenderung memakai sistem tertutup dan hanya satu dua negara muslim yang dengan mantap telah menerapkan sistem demokrasi dengan menghormati sepenuhnya asas kedaluatan rakyat. (hal 205)
Buya Syafii berpendapat, tradisi ketertutupan politik bukan berasal dari Nabi Muhammad atau generasi pemimpin yang berdekatan dengan beliau. Melainkan berkaitan dengan sistem dinastik, yang notabene anti islam , ke dalam politik Islam sejak masa Dinasti Umayyah yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan bin Harb.
Sistem ini kemudian ‘melanggeng’ selama berabad-abad . Dalam sistem dinasti itu, polarisasi antara penguasa dan rakyat, tampak begitu nyata dan tajam. Sistem dinasti adalah sebuah sistem politik yang anti keterbukaan. Kecuali satu dua, hampir semua penguasa muslim dalam sistem tertutup, tidak pernah mempunyai wawasan keadilan untuk akyat.
Tidak mengherakan jika kemudian didapati bahwa dari dunia Islam, selama kurun waktu yang panjang, hampir-hampir tidak mampu melahirkan prinsip demokratik yang membela prinsip-prinsip keterbukaan dalam bernegara. Pasalnya arus sejarah dinastik-otoriter begitu lama mendominasi perpolitikan dunia Islam.
Menurut Buya Syafii, dengan segala kelemahan dan kekurangannya Bangsa Muslim Indonesia sejak masa pergerakan nasional memilih sistem demokrasi sebagai sarana wahana terbaik untuk membumikan cita-cita kemerdekaan, merupakan pilihan terbaik, tepat, dan benar. Karena Islam adalah sinonim dengan keterbukaan politik.
Bagian Kelima : Demokrasi dan nilai-nilai insani
Di era Orde Baru, terdapat program Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang merupakan pedoman tentang pengamalan Pancasila di dalam kehidupan bernegara yang sudah dilancarkan sejak 1970-an, dengan tujuan memperbaiki moral bangsa di samping tujuan politik. (hal 225)
Namun dampak positif Penataran P4, belum terasa. Terutama dengan perilaku korupsi dalam kehidupan bangsa kita. Bank-bank pemerintah nyaris bangkrut akibat perilaku korup yang belum juga sembuh dan semakin terjerembab dalam malapetaka dan kehancuran moral. Artinya, Penataran P4 belum juga mencapai sasarannya, dan selama ini bangsa ini hanya berkubang dalam budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Bisa dikatakan, kondisi masyarakat kita sekarang yang semakin terasa bahwa nilai-nilai Pancasila yang diagungkan itu semakin jauh dari wilayah kehidupan praktis kita. Justru dalam bagian ini beberapa kali Buya mengemukakan rasa kagumnya kepada Bung Hatta dengan sanjungan Bung Hatta sebagai pemimpin dan warga negara, tetap konsisten melaksanakan nilai-nilai pancasila dalam seluruh dimensi kehidupan bangsa. Sebab Hatta tidak pernah mengorbankan idealisme untuk tujuan pragmatis dalam arti negatif.
Jangan sampai kondisi bangsa kita belum beranjak dari apa yang dikatakan Hatta bahwa “Pengamalan Pancasila masih sampai di bibir, sementara praktik hidup kita sehari-hari sering benar mengingkari tujuan luhur yang hendak dibumikannya.” (hal 248)
Namun dengan melihat perilaku “si Kapitalis” yang tidak mempuyai moral dalam memupuk kekayaan dan memperbesar usaha industri mereka semakin mengkhianati nilai-nilai pancasila yang sering dikeramatkan. Apalagi bila dihadapkan dengan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, makin menampilkan ketidakjelasan arah pembangunan ekonomi kita, yang harusnya mampu menolong nasib wong cilik.
Penutup
Buku ini sangat cocok dibaca untuk siapa saja yang tertarik mendalami pemikiran Buya Syafii secara general. Karena di dalam buku ini, banyak terkandung gagasan orisinil khas Buya dan beberapa pemikiran tokoh yang mempengaruhi corak pemikiran beliau.
Gaya bahasa dalam buku ini sangat menampilkan ruh khas akademis. Namun dengan kemasan yang dibuat populer. Sehingga pembaca awam pun tidak terlalu kesulitan memahami atau menangkap pesan yang ingin disampaikan penulis.
Salah satu ulasan yang menarik dari buku ini adalah perihal bagaimana membingkai peradaban yang ramah, dengan masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap Allah dan pesan-pesan yang mencerahkan. Seperti keharusan umat Islam untuk tampil di panggung peradaban, sebagai umat yang cerdas dan harus menjadi pemain yang percaya diri, bukannya sebagai penonton di posisi pinggiran.
Dalam buku setebal 296 (dua ratus sembilan puluh enam) halaman ini, banyak mengandung pembahasan pembumian Islam yang diaktualisasikan di setiap kegiatan kemasyarakatan. Jadi yang dimaksudkan di sini ialah, Islam sebagai agama esensial dimana nilai substansi ajarannya terbawa di keseharian masyarakat untuk mencapai kecemerlangan hidup.
Dengan membaca kembali buah pemikiran dari Buya Syafii melalui buku “Membumikan Islam “, semakin tumbuh rasa cinta dan kagum kepada beliau. Meski kian menua namun pemikirannya terus menyala dan tiada hentinya mencerahkan bangsa. Dengan kesederhanaan dan cara berpikir yang progresif, Buya pantas menjadi inspirasi dan panutan lintas generasi masyarakat Indonesia dan dunia.
Selamat membaca!
Identitas Buku
Judul : Membumikan Islam
Kategori : Religion & Spirituality
Penerbit : IRCiSod
Cetakan : Pertama, Agustus 2019
Tebal : 296 halaman ; 14 x 20 cm
ISBN : 978-602-7696-76-1
Keterangan :
Maumere : Kota di pulau Flores, Ibu kota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia.
Cirebon : Kota di Jawa Barat
*Penulis
Fahris Haria Febrilian. Pustakawan Perpustakaan KH. Ahmad Dahlan Masjid Al- Jihad. Sekretaris Organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kabupaten Pasuruan.
Editor : akar 10