Berita

Kupas Tuntas Perdebatan Perbedaan Jumlah Tarawih

Kupas Tuntas Perdebatan Perbedaan Jumlah Tarawih

Perbedaan Jumlah Tarawih, Kupas Tuntas perdebatannya oleh IMM STIT Muhammadiyah Bangil. Laporan kontributor sinarmu.co.


Sinarmu.co – Riuh rendah berjuta umat muslim dunia, menyambut Nuzulul Qur’an dengan meriah. Malam 17 Ramadhan, histori megah proses wahyu pertama melalui malaikat Jibril pada Nabi terakhir, sang tauladan terbaik manusia.

Kebahagiaan pada tiap hati insan yang berpuasa, disambut megah dengan saling berlomba merajut do’a. Walau pandemi terus melanda menakuti jiwa, namun tak menghentikan kekhusyukan dalam ibadah. Selang sehari, momen istimewa tersebut tidak ditinggalkan begitu saja.

Pandainya Komisariat IMM STIT Muhammadiyah Bangil dalam merebut keberkahan, dimanfaatkan dengan menggebrak sebuah fakta. Kemungkinan besar jika mengkaji data, hampir 97% orang islam, terutama di Indonesia tercinta, pasti menanyakan pertanyaan yang cenderung sama.

Jum’at (30/4/21) tepat di Aula Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah, menjadi saksi terbukanya kesahihan pernyataan seputar ibadah khas Ramadhan. Qiyamul Lail, atau biasa disebut tarawih. Tempat perdebatan hampir tiap-tiap kita dan selalu ditanyakan hampir di tiap-tiap bulan puasa tiba.

Seakan tak ada habisnya. Khilafiyah ulama tersebut terus- menerus dipersoalkan. Ibarat kesempatan emas, immawan/wati STIT MuBa memutar otak untuk mencarikan wadah penyampaian kebenaran. Bertujuan mengedukasi masyarakat, dari kalangan generasi Z, yaitu para mahasiswa/i.

Kritisnya mereka terlihat ketika pengambilan tema yang dengan tegas terpampang nyata di media posternya. Apabila kita telisik, pembahasan BERANI ini sangatlah jarang dilakukan. Sehingga, aktivitas ini cukup banyak disorot dan mengundang perhatian.

Kupas Tuntas Ihwal Tarawih

Kupas Tuntas Seputar Perdebatan Tarawih. Judul utama yang dibahas dalam rangkaian acara Kajian Ramadhan Komisariat STIT MuBa. Mengundang tokoh Majelis Tarjih Muhammadiyah Kabupaten Pasuruan, Ustadz Nasrullah, S.HI, M.H, sebagai empu untuk menguliti pembahasan seputar qiyamul lail. Mulai dari penjabaran definisi, jumlah bilangan rakaat yang digadang-gadang sebagai subtema kontroversial, sejarah, dalil (ushul hadits), hingga poin-poin lainnya.

Dua (2) jam waktu berlalu, ilmu ditransfer oleh pemateri kepada para peserta. Terdapat dua poin, yang menjadi inti dari kajian kemarin. Pertama tentang definisi qiyamul lail/ramadhan. Iaitu ibadah sunnah (salat sunnah) yang dikerjakan di malam hari setelah salat isya’. Dilaksanakan pada bulan Ramadhan.

Ternyata, di jaman Rasulullah s.a.w silam, istilah tarawih masih belum ada. Sebutan tersebut baru muncul dan dikenalkan pada abad ke-3 (tiga)/300 tahun yang lalu setelah Nabi Muhammad s.a.w wafat. Tepatnya di masa Bani Abbasiyah ke-2 (dua) dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Pasuruan Raya

Poin kedua, mengenai perdebatan rakaat dalam salat tarawih. Ada yang bilang 11 ada pula yang mengatakan 23. Ustadz Nasrullah menerangkan bahwa tiap-tiap dari itu terdapat hadist atau dalil masing-masing. Namun beliau menambahkan, terdapat pendapat yang lebih sahih seputar jumlah rakaat tarawih.

Diriwayatkan dari Aisyah, istri Nabi Muhammad s.a.w, ia berkata “Pernah Rasulullah s.a.w melakukan salat pada waktu antara setelah selesai isya yang dikenal dengan atamah hingga subuh sebanyak sebelas rakaat, dan beliau salat witir satu rakaat.” Hadits riwayat Bukhari No. 1147 dan Muslim No. 738.

Terdapat pula riwayat lain dari Abu Salamah Ibnu Abdur-rahman, bahwa ia bertanya kepada Aisyah mengenai salat Rasulullah di bulan Ramadhan. Aisyah menjawab, “Nabi tidak pernah mengerjakan salat sunnah qiyamul ramadhan, melebihi 11 (sebelas) rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat.” Hadits riwayat Bukhari-Muslim.

Kejelasan tersebut disampaikan dengan luar biasa baik dan mudah dimengerti. Semakin dekat waktu menuju buka puasa, peserta malah semakin antusias dan panas. Ketika terdapat pertanyaan tentang, lantas bagaimana dengan salat tarawih yang berjumlah lebih dari 11 (sebelas), seperti 23 (dua puluh tiga)?

Perbedaan Jumlah Tarawih

Narasumber-pun menjawab, bahwasanya 23 rakaat, adalah salat tarawih yang dipelopori oleh Umar bin Al-Khattab sebagai pemimpin saat itu. Di zaman setelah Nabi Muhammad s.a.w, orang-orang begitu berat jika melakukan satu rakaat begitu lama.

Akhirnya, Umar memiliki inisiatif agar salat tarawih dikerjakan dua puluh rakaat agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan salat sebanyak 20 rakaat kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga rakaat. Namun ketika itu bacaan setiap rakaat lebih ringan dengan diganti rakaat yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu rakaat dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272).

Salat tarawih yang lebih utama sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bilangannya 11 rakaat. Inilah yang lebih baik. Seperti ucapan Imam Malik rahimahullah, “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan, ialah salat yang diperintahkan oleh Umar Radhiyallahu anhu, yaitu 11 rakaat, yaitu (cara) shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 adalah dekat dengan 13.” [Al Hawadits, 141].

Perbedaan tersebut bersifat variasi. Lebih dari 11 rakaat adalah boleh, dan 23 rakaat lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin. dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 rakaat.

Terpenting lagi dari semua perbedaan tersebut ialah praktiknya. Harus khusyuk atau tuma’ninah. Seperti pada hadist, Rasulullah s.a.w bersabda, “Sebaik-baik salat adalah yang panjang bacaanya”, Hadits riwayat Muslim, No. 756. Kemudian disusul dengan dari Abu Hurairah beliau berkata, Nabi s.a.w melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah salat yang ringkas (terburu-buru). Tidak ada tuma’ninah ketika membaca surat, ruku’  dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah). Oleh karena itu, tidak tepat jika salat 23 rakaat dilakukan dengan saling berlomba kecepatan.

Terkadang ada pula salat 23 rakaat yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 rakaat. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya salat tarawih dilakukan dengan penuh ke-khusyuk-an, tuma’ninah, tenang dan damai. Begitulah pesan yang disampaikan oleh ayahanda Ustadz Nasrullah yang akhirnya berhasil membuka mata dan menambah wawasan peserta. Khususnya mahasiswa/i STIT Muhammadiyah Bangil.

Dilanjutkan Ifthar

Agenda yang dilanjutkan iftar dan salat tarawih bersama ini juga mengisyaratkan hubungan silaturahmi berjalan. Kajian Ramadhan oleh tim Komisariat IMM STIT MuhBa dikesan cukup baik dan menyenangkan. Secara tidak langsung mereka juga membuktikan bahwa, kondisi pandemi tidak menjadikan pemikiran dan aktivitas terjebak. Tekad kuat yang dimiliki, dijadikannya celah untuk menemukan dan mencerahkan masyarakat. Berkaca dari ruang dakwah dengan segala fasilitas yang serba cepat. Maka kiranya, tidak ada kata “berhenti berdakwah” dari setiap mereka yang mencerdaskan dan membuka mata umat.

Penulis : Immawati Nora Niswatul Jannah (Pimpinan Komisariat IMM STIT Muhammadiyah Bangil)

Referensi :
https://rumaysho.com/448-shalat-tarawih-11-ataukah-23-rakaat.html
https://almanhaj.or.id/3150-shalat-tarawih-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-dan-salafush-shalih.html

About Author

sinarmu

Sinarmu.co | Mencerahkan semesta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *