Opini

HIDUP HARUS PINTAR NGEGAS DAN NGEREM

HIDUP HARUS PINTAR NGEGAS DAN NGEREM

Sinarmu – Buku dengan judul “Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem” merupakan buah pemikiran dari Emha Ainun Najib atau yang akrab dipanggil Cak Nun. Berisikan ceramah nasihat-nasihat kearifan dengan mengulas kehidupan dan fenomena masyarakat Indonesia. Termasuk dalam berpolitik dan beragama. Khususnya soal ber-Islam yang kerap meresahkan. Sebab terdapat sebagian kelompok sering menimbulkan konflik.

Dalam menangkap pola model masyarakat dan mengemukakan pendapatnya, Cak Nun bertumpu pada Al-Quran, hadits dan pendapat ulama. Sehingga akan banyak dalil yang akan kita dapatkan dalam buku ini. Selain itu, Cak Nun juga menguatkan pendapat beliau dengan menambah macam-macam pendekatan dimensi sosial, budaya, filsafat, politik, sains dan teknologi.

Gaya bahasa dalam buku ini terkesan luwes dan tidak terlalu kaku seperti ketika membaca artikel ilmiah khas ceramah Cak Nun, ketika mengisi acara dari kampung ke kampung. Di tangan Cak Nun, bahasa yang sulit atau melangit bisa dijelaskan secara membumi alias mudah dipahami. Sepakat dengan testimoni dari Gus Candra Malik, “Cak Nun menyampaikan kabar langit dengan bahasa yang membumi.”

Cak Nun berhasil memberikan analogi atau perumpamaan yang mudah ditangkap awam, sehingga pembaca awam yang kiranya belum sampai nalarnya untuk memahami hal yang sulit, jadi termudahkan.

Secara garis besar, pesan yang Cak Nun ingin sampaikan melalui buku ini ialah, bahwa tujuan sejati umat Islam untuk menciptakan rasa aman. Maka disebutnya mukmin, karena ikut andil dalam proses membangun keamanan dan senantiasa menampilkan akhlak yang baik serta toleran kepada kemajemukan atau perbedaan di tengah masyarakat. Sebagai buah dari perenungan mendalam atas makna hadirnya Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Meski nama Cak Nun populer di kalangan awam sebagai Ustaz, namun dalam buku ini berulang kali menyebutkan bahwa dirinya berat untuk menyandang gelar Ustaz. Karena luhur sekali dan Cak Nun pun enggan menyematkan gelar-gelar lain semata-mata kewibawaan duniawi dan sepele untuk menarik simpati umat. Tentu secara terang Cak Nun pun memberikan kritik kepada sebagian masyarakat Indonesia yang mudah memberikan gelar Ustaz dan Kiai hanya karena pakaian yang dikenakan. Yaitu pakaian “takwa” dan berpeci, bukan karena tingkat kedalaman ilmu seseorang.

Mencari Islamnya Nabi Muhammad

Di sebagian kelompok masyarakat tertentu, terdapat golongan yang tidak senang dengan perbedaan meski kemajemukan itu sendiri ialah kehendak Allah. Hal tersebut juga akan selalu terus dijelek-jelekan serta dicari kesalahan dan celahnya. Merasa bahwa hanya golongannya yang diterima oleh Allah, dari golongan yang telah terbagi menjadi 73 (tujuh puluh tiga) kelompok. Kemudian menyatakan bahwa golongan lain ialah kafir dan sesat.

Cak Nun mengibaratkan Islam sebagai singkong yang bisa diolah menjadi macam-macam seperti keripik, getuk dan lain-lain. Begitu juga dengan Islam yang dapat ditafsirkan macam-macam. Sehingga melahirkan banyak aliran. Misalnya NU dan Muhamamdiyah. Intinya sama dan tetap masih singkong. Semua ijtihad, tafsir mazhab dan submazhab bertujuan untuk mencari Islamnya Nabi Muhammad. Dalam bahasa Cak Nun, “Mungkin tidak akan benar-benar sampai ke sana, ya tidak apa-apa, yang penting sudah usaha dengan berbagai macam upaya.”

Banyak yang mengira pendapat Ustaz itu kebenaran. Padahal itu hanya tafsir. Al-Quran itu mutlak dan tafsir terhadap Al-Quran itu relatif dan banyak versi.  Pola pikir ini yang membuat dunia ribut karena menganggap tafsir ialah kebenaran. Kebenaran hanya milik Allah dan Rasulullah. Islam agama yang dibawa oleh Rasullah ini lebih besar dan persatuan Islam harus dinomor satukan. Bukannya sekedar mementingkan golongan yang nantinya derajatnya menurun jadi personalitas.

Menurut Cak Nun, kebenaran dibagi menjadi tiga macam tingkatan; Kebenaran sendiri, apabila dipertahankan pasti ribut dan menimbulkan konflik. Sebab posisi manusia ada di ”semoga“ dan “Insya Allah”. Seumur hidup isinya hanya Insya Allah dan semoga. Maka kita perlu mencari kebenaran bersama orang banyak yaitu Kebenaran kolektif, itu pun masih relatif. Benar kolektifnya Golkar tidak sama dengan benar kolektifnya PDIP. Akhirnya jadi benarnya masing-masing dan turun lagi ke tingkat benarnya sendiri.

Maka semua manusia harusnya saling merentangkan tangan dan saling mengalah supaya dapat mencari kebenaran yang lebih tinggi yakni Kebenaran sejati. Ketika kebenaran sejati tidak ketemu, maka wajib bagi manusia tidak berhenti mencari kebenaran sejati. Kewajiban kita ialah terus mencari dan belajar dengan harapan sampai atau mendekati Islamnya Rasulullah. Ibarat menanam padi tugas kita hanya menanam dan menyiram. Hanya Allah-lah yang dapat menentukan keluar tidak keluar buah atau biji padinya. Maka jangan berhenti menanam, jangan berhenti mencarinya dalam hidup.

“Mari kita jadikan yang membingungkan itu menjadi kenikmatan, untuk membantu kita menyadari bahwa kita itu tidak tahu.”

EMHA AINUN NADJIB

Pintar di Sekolah, Pintar Juga Soal Hidup

Peran manusia yang diberi oleh Allah ialah sebagai Khalifah fil ardh, yang artinya harus mengurus bumi termasuk tanaman, sungai, dan seluruh isi bumi. Diurus bersama-sama dan bukan hanya memikirkan serta mencari harta dunia saja. Maka dalam mengurusnya manusia dibekali akal sebagai alat utama dalam mengelola sesuatu dan mengkreasikan banyak hal. Seperti kapuk jadi bantal, hutan jadi taman dan lain seterusnya.  

Karena bumi ini harus dikelola bersama, maka tidak perlu terlalu ribut dalam merebutkan apa yang ada di bumi hingga melakukan perbuatan tercela seperti korupsi dan suap. Karena hanya akan dimiliki sementara. Dunia merupakan tempat berjuang, tempat mengumpulkan bahan material untuk membangun rumah abadi kita di surga.  

Menurut Cak Nun, “Sekolah tidak menjamin orang belajar dan berbuat baik.” Karena masih ada yang belum tuntas dari apa yang diajarkan di sekolah. Yakni bagaimana membangun kualitas moral yang baik. Hasilnya banyak orang yang sekolahnya tinggi namun berperilaku tidak baik. Banyak orang dalam hidupnya pintar, padahal tidak pintar sekolahnya. Banyak orang pintar sekolahnya, namun tidak pintar hidup . Bekerja tidak bisa, dagang tidak bisa, dipercaya orang lain tidak bisa, akhirnya nyaleg karena nyaleg mudah.

Dengan bekal ilmu yang didapatkan di sekolah dan ditambah melalui pembelajaran kehidupan, secara langsung dapat membantu kita dalam mengukur dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Dengan kapasitas segini, cocok jualan soto, dengan kapasitas ini cocok jadi presiden. Apabila tidak dengan ilmu dan asal mecocokkan saja negara ini tidak akan maju dan akan kacau.

Cak Nun mengibaratkan cangkul, pedang, dan keris sebagai pegangan kita dalam menata niat mencari arti hidup. Cangkul memiliki fungsi ekonomi digunakan untuk bekerja atau bertani. Sedangkan pedang memiliki fungsi kekuasaan yang bertanggung jawab melindungi dan mengatur orang lain. Keris sebagai simbol kebanggaan memiliki fungsi wibawa, kasepuhan martabat.

Sayangnya kebanyakan dari kita hanya mencari cangkul sebagai  tujuan hidup. Punya pedang dengan jabatan tinggi tapi tujuannya untuk menambah hartanya. Punya keris direndahkan untuk fungsi ekonomi akhirnya ketika diminta jadi imam shalat jumat minta upah dan bukannya berniatan mencari keris berkualitas tinggi.

Tujuan dari sekolah atau berkuliah yang dicari ialah keris atau martabat hidup. Bukan cangkul karena ingin bergaji besar. Maka tingkatkan ibadah kepada Allah dan senantiasa meciptakan rasa aman kepada sesama sehingga orang lain percaya dengan kita. Dengan menjadi orang yang bermanfaat, maka akan sendirinya mendapatkan kekuasaan, sendirinya akan mendapatkan ekonomi yang melimpah.

“Tidak ada gunanya ilmu, kreativitas, tumpukan buku dan apapun, kalau hubungan kita dengan Allah tidak dibereskan dahulu.”

EMHA AINUN NADJIB

Identitas Buku

Judul : Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem

Penulis : Emha Ainun Nadjib

No. ISBN : 978-602-385-150-8

Penerbit : Noura Books (PT Mizan Publika), Jakarta Selatan. 2016

Cetakan : ke-13, Juli 2020

Jumlah Halaman : 230 halaman

Kontributor :
Fahris Haria Febrilian. Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PD Muhammadiyah Kab. Pasuruan.
akar10

About Author

Fahris Haria Febrilian

Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PD Muhammadiyah Kab. Pasuruan. "Iman, Ilmu, Amal."

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *