Mayday Pandemi, Buruh Antara Ada dan Tiada. Tulisan Kurnia Mayasari, Anggota Bidang Sosial-Ekonomi Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Pasuruan.
“Buruh bersatu tak bisa di kalahkan…
Buruh bersatu tak bisa di kalahkan…”
Sinarmu.cos – Riuh suara aksi demo 3 (tiga) tahun yang lalu peringatan mayday 1 Mei masih tetap terngiang hingga saat ini tepat di tahun 2021. Kini buruh berada di posisi ketidakpastian, buruh ibarat ada dan tiada.
Ketidakpastian ini dimulai setelah undang-undang omnibus law disahkan dalam sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 5 Oktober 2020. Kini nasib mereka pun semakin tidak pasti.
Buruh dianggap ada saat saat perusahaan membutuhkan tenaganya, namun dianggap tiada karena hak haknya dibatasi. Apalagi saat wabah Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia. Nasib buruh kian terpuruk akan ketidakjelasan sebuah undang-undang yang mengatasnamakan untuk kepentingan buruh, buruh yang mana?
Ketidakjelasan ini pun terlihat sejak setahun yang lalu, banyak buruh di-PHK (pemutusan hubungan kerja) karena perusahaan terdampak Covid-19. Walaupun banyak perusahaan yang bertahan dalam kondisi pandemi, namun THR (tunjangan hari raya) yang harusnya dibayarkan secara tunai, akhirnya dicicil, ketidakjelasan jam kerja, dan pemberlakuan upah minimum sektoral Kabupaten (UMSK).
Seharusnya buruh menjadi aset bagi perusahaan dan negara. Karena merekalah roda perputaran industri, produksi bisa berjalan dan ekonomi Indonesia bisa kembali membaik. Namun sayangnya, butuh waktu dan perenungan yang lama untuk menjadikan buruh menjadi bagian dari bangkitnya ekonomi Indonesia.
Apalagi mayday kali ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, menjadi sebuah renungan panjang, tak hanya buruh, namun semua masyarakat Indonesia. Agar mulai menyiapkan banyak energi dan strategi dalam menciptakan lapangan kerja baru. Sehingga buruh di masa depan tak hanya menjadi sebuah sejarah.
Penulis : Kurnia Mayasari
Mayday Pandemi, Buruh Antara Ada dan Tiada