Berita

Masjid: Agama, Politik dan Ekonomi?

Masjid: Agama, Politik dan Ekonomi?

Masjid: Agama, Politik dan Ekonomi? Opini Muhammad Rafi Ardiansyah, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya


Romantisasi Sejarah

Segerombolan orang dengan lantang meneriakkan bahwa Indonesia harus merubah sistem pemerintahannya. Seperti halnya sistem pemerintahan pada zaman Nabi.

Surat Ash-Shaf ayat 6 (enam) dengan gamblang menjelaskan bahwa Allah akan mengutus seorang Nabi bernama Ahmad (Muhammad) menjadi dasar dalalah. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Nabi Isa kepada kaumnya atas wahyu dari Allah SWT.

Bani Israil dengan kukuh mengakui bahwa Masjid Al-Aqsa adalah tempat “Suci” umat Yahudi. Begitupun dengan umat Nasrani, menjadi awal mula bahwa Masjid itu akan menjadi ajang perebutan dari 3 agama Samawi. Ketika Allah mengutus Nabi dari suku Quraisy di Mekkah Saudi Arabia.

Ada dendam tersendiri bagi umat Yahudi dan Nasrani, yang menginginkan Nabi itu berasal dari golongannya. Ternyata mereka salah. Bahkan Muhammad adalah keturunan dari nenek moyang mereka, yakni Ibrahim dan Isma’il.

Ketika 3 (tiga) agama samawi bersengketa tentang yang lebih berhak menjadikan Masjid Al-Aqsa sebagai tempat suci mereka, Nabi Muhammad membawa pola peradaban yang berbeda. Seakan memberi opsi kepada umat Islam tanpa menafikkan Masjid Al-Aqsa, Nabi Muhammad membangun masjid yang pada akhirnya menjadi bukti dan kunci sejarah Peradaban Umat Islam di dunia.

Sementara itu, Masjid Al-Haram yang sudah terlebih dahulu berdiri juga menjadi sengketa baru. Al-Haram seakan menjadi pusat kemaksiatan kala itu. Sedangkan Nabi hadir untuk menyelamatkannya.

Nabi Muhammad yang lahir dari suku Quraisy, salah satu suku yang disegani di Kota Mekkah itu, sempat menjadi public figure bagi masyarakatnya. Namun karena dakwahnya yang mengajak masyarakat masuk agama Islam, akhirnya banyak sekali yang memusuhi dirinya.

Meskipun ada pembelaan dari beberapa kerabat dan sahabatnya, namun hijrah yang menjadi perintah Allah kepadanya, membuat Nabi Muhammad tetap memutuskan untuk meninggalkan Kota Mekkah menuju Yastrib. Tentu saja dengan menggunakan beberapa strategi yang ia susun secara luar biasa.

Gerbang Pertama

Baiat Aqabah menjadi gerbang pertama yang meyakinkan Nabi Muhammad untuk berhijrah. Sejarah mencatat bahwa perjanjian antara Nabi dengan perwakilan Khazraj dan Aus tersebut berisi tentang kesanggupan ketujuh orang itu. Kesanggupannya adalah untuk beriman, beramal saleh, dan menjauhi perbuatan keji serta munkar.

Selanjutnya pada baiat kedua ada 75 orang dari Yastrib melakukan baiat Aqabah kedua dengan Nabi. Dalam kesempatan ini Hamzah, paman beliau menemani. Pada pertemuan ini juga masyarakat Yatsrib mengundang Nabi untuk hijrah ke kampung mereka.

Isi perjanjian Baiat Aqabah kedua ini tetap sama dengan Baiat Aqabah yang pertama. Hal inilah yang menjadi dasar bagi Nabi untuk membangun mindset bahwa Islam telah siap berkembang di Yastrib.

Gawat, masyarakat Mekkah mendengar berita bahwa nabi akan hijrah ke Yatsrib. Mereka membuat siasat untuk membunuh Nabi Muhammad. Mereka khawatir bahwa Islam akan berkembang jika Nabi Muhammad berhasil mendakwahkan islam di perkampungan Yatsrib.

Merespon hal tersebut, Nabi menyusun sebuah strategi. Sahabat sekaligus kerabat Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib menjadi penyelamat dalam drama tersebut. Ali menggantikan Nabi di tempat tidurnya sedangkan Nabi Muhammad beranjak untuk menuju Yastrib dengan beberapa sahabat lain.

Nabi Muhammad lolos, dan berhasil hijrah bersama beberapa sahabat sampai ke Yatsrib dengan selamat. Masyarakat Yastrib dan beberapa sahabat yang sudah hijrah mendahului Nabi bergembira dan menyambut Nabi dengan Sholawat Badar.

Tak berselang lama dari kedatangan Nabi di Yastrib, Nabi membangun sebuah masjid bersama dengan kaum Muhajirin dan Anshor. Nabi menjadikan masyarakat Muhajirin dan Anshor sebagai saudara satu sama lain. Dari Masjid tersebut peradaban Yastrib terbangun, Yastrib yang awalnya hanya kampung terpencil dan tertinggal, kini berubah sebagai Kota berkemajuan.

Namanya berubah menjadi Madinah, dengan kata Al-Munawwarah mengikuti di belakangnya berarti Kota yang mencerahkan. Agama, Ekonomi, dan Politik terbangun dan terpusat di Masjid.

Nabawi yang Bersaksi

Masjid Nabawi, menjadi saksi sejarah perdaban Kota Madinah. Gotong royong antara masyarakat Muhajirin dan Anshor dalam membangun Nabawi di atas tanah wakaf terlihat dengan jelas. Menggunakan pohon kurma sebagai pilar, daun kurma menutup sebagian atap, lantainya tetap pasir dan mimbarnya terdiri dari kayu yang mempunyai 3 (tiga) anak tangga. Tidak jauh dari Masjid Nabawi berdiri rumah sang Baginda.

Sebagai Pusat Agama, Masjid Nabawi menjadi sarana Nabi Muhammad menyampaikan dakwah. Halaqoh atau majelis ilmu selalu menghiasi Masjid tersebut. Solat berjamaah hingga solat jumat menghidupi masjid dengan tertib, hingga penguatan akidah umat Islam terlaksana di masjid yang bersejarah ini.

Dunia pemerintahan atau kita kenal dengan politik juga mengarungi dinamika di Masjid Nabawi. Segala bentuk gerak politik Nabi, dari menyurati raja-raja di sekitaran Arab, hingga menunjuk gubernur negeri sekitar Madinah terkendali dari Nabawi. Strategi perang dan juga berbagai permusyawarahan tentang kesejahteraan umat terselesaikan di Nabawi.

Mengingat yang hidup di Madinah bukan hanya umat Islam, namun banyak juga dari golongan orang kafir yang terikat perjanjian dengan Nabi. Hal ini sempat menjadi tantangan, namun karena kebijaksanaan seorang Nabi, akhirnya Madinah menjadi negeri yang aman. Madinah ramah bagi Islam dan juga bagi Kafir.

Peradaban selanjutnya yang terbangun melalui masjid adalah ekonomi umat. Dengan adanya sistem upeti atau pajak bagi setiap masyarakat Madinah yang akhirnya bisa memenuhi Baitul Maal, dan dengan adanya aktivitas jual beli yang terpusat di sekitar Masjid Nabawi menjadikan Madinah sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat baik.

Orang-orang Muhajirin yang datang tidak membawa harta benda, bisa membangun bisnis dengan luar biasa di kota Madinah. Keberhasilan Nabi dalam membangun ekonomi seakan-akan memindahkan pusat kota yang sebelumnya berada di kota Mekkah ke kota Madinah.

Dengan bertumbuhnya ekonomi masyarakat dan negara, menjadi bukti bahwa Rasulullah sudah berhasil dalam membangun sistem kota Madinah yang berperadaban. Rasulullah menjadikan masyarakat Madinah menjadi Al-Mujtama’ Al-Mutamaddin atau masyarakat Madani.

Tentu histori peradaban sebuah kampung terpencil bernama Yastrib menjadi kota Madinah yang tumbuh luar biasa tidak lepas dari peran Nabi. Semua sepakat bahwa Nabi sebagai pemimpin umat sekaligus pemerintahan yang berhasil membangun peradaban.

Peradaban yang Berkelanjutan

Menariknya sistem ini membudaya di kalangan para sahabat Nabi yang menggantikan peran Nabi sebagai Khalifah di Madinah, atau biasa kita sebut dengan Khulafa’ al-Rasyidin. Ada empat orang yang pernah mengemban amanah menjadi Khalifah setelah wafatnya Nabi yaitu, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Bahkan peradaban Islam yang terbangun di Yatsrib, sebuah kampung terpencil itu menjadi sebuah sistem peradaban yang berlanjut dan menyebar. Tercatat ada ke-khalifah-an Islam yang pernah berhasil menguasai dunia dengan sistem ini. Antara lain ke-khalifah-an Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah

Tidak semua peradaban membutuhkan ilmu. Namun semua peradaban pasti memiliki tempat ibadah. Jika kita tarik sebuah benang merah dari sejarah Nabi Muhammad. Kemudian, apakah fungsi masjid pada zaman itu masih relevan di zaman sekarang ?

Tentunya dengan melihat kondisi peradaban dunia yang seperti ini. Kuntowijoyo dalam menggambarkan fungsi masjid pada zaman ini dengan zaman Nabi. Menyederhanakan dengan memberi gambaran bahwa, jika dulu pasar bagian dari masjid. Maka sekarang masjid bagian dari pasar.

Islam sebagai diin Al-Hadarah harus bisa menjawab tantangan yang demikian. Jika situasi sudah berubah maka sangat mustahil kita menyalahkan situasi, dan titik fokusnya adalah menjadikan semua ini sebagai gambaran obyektif. Jika perlu orang-orang dapat meyakini ajaran Islam tanpa perlu membawakan dalilnya.

Apa boleh buat? Tentu saja hal yang paling lumrah kita lakukan ketika menghadapi situasi seperti ini adalah, menarik konteks yang dimuat dari problematika tersebut, menjadi hal yang bisa diimplementasikan pada masa sekarang.

Apakah mungkin membangun Gedung DPR didalam masjid?

Apakah mungkin didalam masjid dibangunkan Pusat Perbelanjaan?

Tentu saja mustahil. Maka nilai obyektifnya adalah menghadirkan spirit masjid itu dalam setiap sendi kehidupan kita, utamanya Agama, Politik, dan Ekonomi.

Muhammad Rafi Ardiansyah Sinarmu.co
akar10


Masjid: Agama, Politik dan Ekonomi? Masjid: Agama, Politik dan Ekonomi?

About Author

Muhammad Rafi Ardiansyah

Seseorang yang punya hoby Desain Grafis dan Fotografi, lahir pada tahun 2002 dalam proses Pendidikan Strata 1 Ilmu Hadis Uinsa. Menjabat sebagai Anggota LIK PDM Kabupaten Pasuruan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *