Menuju Kesetaraan Politik : Mengeksplorasi Prospek Pengembangan Kebijakan Kuota Perempuan untuk Masa Depan – kontributor sinarmu.co-


Sinarmu.co – Kesetaraan gender dalam ranah politik Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% kursi di parlemen nasional yang diduduki oleh perempuan, jauh di bawah target 30% yang dicanangkan melalui Undang-Undang Pemilu. Situasi serupa juga tercermin di level pemerintahan daerah dan eksekutif, dimana representasi perempuan masih sangat rendah.

Kesenjangan gender ini menggambarkan perlunya upaya khusus dan berkelanjutan untuk mendorong partisipasi politik perempuan secara lebih setara. Salah satu instrumen yang telah diterapkan untuk mengatasi isu ini adalah sistem kuota perempuan. Kebijakan kuota mewajibkan partai politik untuk mengajukan sekurang-kurangnya 30% calon perempuan dalam pemilu legislatif. Meskipun telah berlaku sejak 2004, efektivitas sistem kuota dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga politik masih diperdebatkan.

Di satu sisi, sistem kuota telah menunjukkan dampak positif. Sebelum diterapkannya kuota, keterwakilan perempuan di parlemen hanya sekitar 11%. Angka ini meningkat menjadi 17,86% pada pemilu 2009 dan terus naik menjadi 20,1% di 2019. Hal ini menunjukkan bahwa kuota telah memperluas akses dan kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik.

Namun, di sisi lain, efektivitas kuota masih terbatas. Jumlah kursi yang diduduki perempuan masih jauh dari target 30% yang dicanangkan, dan sebagian besar partai politik cenderung menempatkan calon perempuan di posisi yang sulit untuk terpilih. Selain itu, keterwakilan perempuan di level eksekutif, baik di tingkat nasional maupun daerah, juga masih sangat rendah.

Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh adalah melalui penguatan kebijakan afirmatif yang komprehensif dan berkelanjutan. Kebijakan ini dapat mencakup berbagai aspek, seperti kuota keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, affirmative action dalam proses pencalonan, serta dukungan pendanaan dan pelatihan bagi calon perempuan. Dengan demikian, hambatan struktural dan kultural yang selama ini membatasi partisipasi perempuan dapat secara bertahap diatasi.

Kebijakan Kuota 30% untuk Calon Legislatif Perempuan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Melalui ketentuan ini, partai politik peserta pemilu diwajibkan untuk memenuhi kuota minimal 30% keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Meskipun telah diatur secara hukum, implementasi kebijakan ini masih menghadapi beberapa tantangan. Pertama, masih terdapat partai politik yang belum berhasil memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif. Hal ini menunjukkan adanya kendala bagi partai-partai politik untuk merekrut dan mencalonkan perempuan dalam jumlah yang memadai.

Menurut data dari Interparlamentary Union (IPU), pada tahun 2023 rata-rata perwakilan perempuan di parlemen di seluruh dunia adalah 26,1% (IPU, 2023). Sementara itu, di Indonesia sendiri, keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 20,5% pada Pemilu 2019 (Komisi Pemilihan Umum, 2019). Meskipun terjadi peningkatan dari pemilu sebelumnya, angka tersebut masih jauh dari target 30% yang sebelumnya telah ditetapkan. Kebijakan kuota perempuan di Indonesia sendiri telah diterapkan sejak tahun 2003 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang dan Tantangan Perempuan dalam Politik

Dalam undang-undang tersebut, partai politik diwajibkan untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan minimal 30% pada kepengurusan partai dan daftar calon anggota legislatif. Meskipun demikian, implementasi kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti rendahnya kemauan politik untuk mendorong partisipasi perempuan, budaya patriarki yang masih kuat, serta minimnya dukungan dan pemberdayaan bagi calon perempuan.

Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu mengkaji ulang dan memperkuat kebijakan kuota perempuan di Indonesia. Salah satu langkah yang dapat diambil untuk memperkuat implementasi kebijakan kuota perempuan di Indonesia adalah dengan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Revisi ini dapat dilakukan dengan memperjelas sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota perempuan serta memberikan insentif bagi partai yang berhasil memenuhi atau melampaui kuota.

Saat ini, Undang-Undang Pemilu 2017 hanya mewajibkan partai politik untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan minimal 30% pada daftar calon anggota legislatif (Pasal 240 ayat 2). Namun, aturan ini belum disertai dengan sanksi yang jelas bagi partai yang tidak mematuhinya. Akibatnya, beberapa partai masih cenderung mengabaikan ketentuan ini.

Data menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, hanya 8 dari 16 partai politik yang memenuhi kuota 30% perempuan pada daftar calon legislatif (Komisi Pemilihan Umum, 2019). Partai-partai yang gagal memenuhi kuota tersebut tetap dapat mendaftarkan daftar calonnya dan mengikuti pemilu tanpa ada konsekuensi hukum yang signifikan. Oleh karena itu, revisi Undang-Undang Pemilu perlu memperjelas sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota perempuan.

Sanksi Tegas untuk Mendukung Keterlibatan Perempuan

Sanksi ini dapat berupa penolakan pendaftaran daftar calon legislatif atau pengurangan alokasi kursi di parlemen bagi partai yang bersangkutan. Di sisi lain, undang-undang juga dapat memberikan insentif bagi partai politik yang berhasil memenuhi atau melampaui kuota perempuan. Insentif ini dapat berupa tambahan alokasi dana kampanye, kemudahan dalam proses verifikasi, atau prioritas penempatan calon pada daftar calon.

Dengan adanya sanksi yang tegas serta insentif yang memadai, diharapkan partai politik akan terdorong untuk serius dalam merekrut dan mendukung keterlibatan perempuan dalam proses politik. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan representasi perempuan di lembaga-lembaga politik di Indonesia. Hal ini bukan hanya penting bagi perwujudan demokrasi yang lebih inklusif, tetapi juga demi tercapainya pembangunan yang lebih responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat. Data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1% keterlibatan perempuan dalam parlemen dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia sebesar 0,12 poin.

Hal ini bukan hanya penting bagi perwujudan demokrasi yang lebih inklusif, tetapi juga demi tercapainya pembangunan yang lebih responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat. Data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1% keterlibatan perempuan dalam parlemen dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia sebesar 0,12 poin.

Dengan demikian, upaya peningkatan representasi perempuan di lembaga-lembaga politik Indonesia di masa depan tidak hanya berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender, tetapi juga memiliki implikasi yang luas bagi pembangunan yang lebih adil, inklusif, dan berpihak pada kepentingan seluruh masyarakat. Kerja keras dan komitmen jangka panjang dari seluruh pemangku kepentingan menjadi kunci untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Referensi:

  1. Interparlamentary Union (IPU). (2023). Women in national parliaments. Diakses dari https://data.ipu.org/women-averages
  2. Komisi Pemilihan Umum. (2019).  Statistik Peserta Pemilu 2019. Diakses dari https://pemilu2019.kpu.go.id/#/dprdp/hitung-suara/
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.
  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Tulisan oleh : Icha Oktavia Dyah Pitaloka

Ditulis oleh : Icha Oktavia Dyah Pitaloka Anggota Immawati IMM An-Nur Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Fakultas Bisnis Hukum dan Ilmu Sosial
-akar10-

About Author

sinarmu

Sinarmu.co | Mencerahkan semesta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *